Entri Populer

Senin, 09 Januari 2012

Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid

STUDI PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAID
Oleh: Erik Budianto, S.PdI

A.    PENDAHULUAN

Dalam kajian Islam kontemporer, nama Nasr Hamid Abu Zaid tentu tidak asing lagi. Pemikir yang cukup fenomenal ini berasal dari Mesir, namun dia menemukan eksistensinya di Leiden-Belanda. Gagasan-gagasannya senantiasa menjadi perbincangan di kalangan pengkaji ilmu-ilmu keislaman (islamisist), khususnya dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Sebagian kalangan menganggap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid ini menyimpang dari nilai luhur ajaran Islam (melecehkan Islam). Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah para pemikir yang “konservatif”. Di pihak lain, ada kelompok yang mendukung atau sejalan dengan pemikiran-pemikirannya. Kelompok ini biasanya berasal dari kelompok pemikir Muslim “liberal-reformis”.
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang paling kontroversial adalah pandangannya yang menyatakan bahwa “Al-Qur’an adalah produk budaya”. Konon karena pemikirannya ini, menyebabkan dia di cap sebagai “murtaddin” dan divonis hukuman mati oleh pemerintah Mesir. Namun, ia terlepas dari tuntutan hukuman tersebut karena melarikan diri ke Belanda. Nah, di sanalah ia mendapatkan tempat untuk terus mengembangkan gagasan-gagasannya.
Sebagai akademisi patut kiranya kita mengkaji lebih mendalam tentang pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Sehingga kita tidak terjebak atau mengikuti tanpa dasar dalam menolak ataupun menerima pemikiran-pemikirannya. Yang menjadi stressing dari pembahasan ini adalah bagaimana metodologi yang digunakan oleh Nasr Hamid untuk memproduksi gagasan-gagasannya dan apa produk-produk dari pemikirannya. Namun pada bagian awal, penulis mengupas terlebih dahulu riwayat hidup dan latar belakang pemikirannya. Ini penting guna mengetahui kapabilitas seorang Nasr Hamid terkait dengan kajian yang digelutinya. Adapun dari segi sumber, penulis hanya menggunakan dua karya Nasr Hamid, yaitu Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an (Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an) dan Teks, Otoritas, Kebenaran (al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah).


B.     PEMBAHASAN

a.      Biografi Nasr Hamid Abu Zaid[1]
Nasr Hamid Abu Zaid lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa propinsi Tanta Mesir Bagian Barat. Semenjak kecil dia dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang sangat religius . Dia termasuk anak yang beruntung karena dia melewati masa kanak- kanak dan dewasa di negeri Mesir di mana disana adalah alam kebebasan berpikir dan termasuk pusat sumber khazanah keislaman. Sehingga kondisi ini secara dinamis berpengaruh pada pertumbuhan intelektualitasnya. Bahkan dalam usia delapan tahun dia sudah menghafal kitab suci Al-Qur’an 30 juz di luar pendidikan formalnya. Selain itu, sejak usia 11 tahun, ia juga bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslimin adalah organisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat. Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap Islam.
 Nasr Hamid Abu Zaid menempuh pendidikan madrasah Ibtidaiyah di kampung halamannya pada tahun 1951. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah tehnologi di distrik Kafru Zayyad, propinsi Gharbiyah.  Dia masuk di sekolah ini untuk memenuhi keinginan ayahnya untuk sekolah di kejuruan meskipun dia sangat ingin sekali melanjutkan studinya di al-Azhar. pada tahun 1968 dia kemudian melanjutkan studi ke Fakultas Adab di Universitas Kairo dan tamat pada tahun 1972 dengan nilai cum laude (memuaskan ). Dia melanjutkan studi S2-nya di almamater yang sama dan berhasil menyelesaikan tesisnya dengan judul qadhiyat almajaz fi al-qu’an inda mu’tazilah dan berhasil dengan nilai yang memuaskan pada tahun 1976. Kemudian pada tahun 1981 dia meraih gelar doctor dari universitas yang sama dengan risalah desertasinya yang berjudul Ta’wilu al-Qur’an ’Inda Muhyiddi al Arabi dengan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan serta mendapat penghargaan tingkat pertama . Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 semuanya dikonsentrasikan pada bidang Bahasa dan Sastra Arab. Nasr Hamid Abu Zaid juga pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern Studies University of Pensylivania Philadelphia USA.
Dari hasil intelektualnya ini akhirnya dia memutuskan untuk mengabdi di almamaternya. Ia sempat menjadi asisten dosen dan kemudian menjadi dosen dalam bidang adab dan filsafat sejak 1982. Pada tahun 1992, dia dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat, terutama Uthman Ibn ‘Affan. Menurutnya, Utsman Ibn ‘Affan, mempersempit bacaan al-Qur’an yang beragam menjadi satu versi, Quraisy. Pemikirannya juga dianggap melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah `, menodai al-Qur’an dan menghina para ulama salaf. Karena pemikirannya yang kontroversial itu, akhirnya ia divonis “murtad”, yang dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Semenjak peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Awalnya, di Netherland Nasr menjadi Profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995, dan sejak tanggal 27 Desember 2000 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar di bidang Bahasa Arab dan studi Islam di Universitas tersebut.
Nasr Hamid juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan gelar penghormatan, diantaranya; 1975-1977 dari Ford Foundation Fellowship at the American University in Cairo, tahun 1985-1989: Visiting Profesor, Osaka University of Foreign Studies Japan dan tahun 2002-2003; Fellow at the Wissenschatten College in Berlin. Nasr Hamid Abu Zaid menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 5 Juli 2010.
b.      Latar Belakang Pemikirannya (Kegelisan Intelektual)
Produk pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentu sangat dipengaruhi dominasi intelektualnya, yakni di bidang bahasa dan sastra. Mengingat pendidikan tingginya dihabiskan atau digunakan untuk mempelajari bahasa dan sastra Arab, maka fokus kajiannya adalah teks (al-Qur’an) atau hadits.
Intensitasnya dalam studi bahasa dan sastra Arab menyebabkan ia sering bergumul dengan kajian al-Qur’an. Kondisi ini juga didukung oleh intensitasnya berinteraksi dengan mahasiswa jurusan bahasa Arab di Universitas Kairo, baik di universitas induk maupun di cabang Khourtoum, Sudan. Melalui dua mata kuliah yang ia ajarkan, al-Qur’an-Hadits, dan Balaghah Arab, ia bersama mahasiswanya melakukan pengujian dari berbagai macam aspek terhadap sejumlah hipotesis yang seluruhnya berkisar di seputar al-Qur’an.
Namun, dialog antara Nasr Hamid, mahasiswa dan para koleganya tidak hanya pada persoalan al-Qur’an, tapi meluas pada persoalan budaya dan Negara. Hal ini dilakukan atas dasar kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari realitas masyarakat (negara).
Dalam konteks akademis, pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid merupakan pengembaraan kajian terhadap tradisi intelektual yang sudah berkembang dari sudut pandang hubungan dan dialektika mufassir dengan teks. Beberapa kajian yang telah dilakukan Nasr Hamid adalah mengenai interpretasi (ta’wil) teks al-Qur’an, baik yang didasarkan pada rasio sebagaimana yang dilakukan kalangan Mu’tazilah, atau yang didasarkan pada intuisi-spekulatif sebagaimana yang dilakukan kalangan sufi. Menurutnya, dua kajian tersebut difokuskan pada horizon intelektual dan epistemologis yang menjadi titik tolak proses penafsiran dan interpretasi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa menonjolkan peran mufasir dalam memahami teks, dan dalam menemukan makna dan signifikansi teks, memberikan anggapan bahwa aktifitas interpretasi dan penafsiran hanya sekedar menarik teks ke horizon pembaca dan penafsir. Menurutnya, inilah yang terjadi pada filsafat hermeneutika kontemporer yang memberikan tekanan lebih besar pada peran pembaca dan mufassir, sehigga eksistensi teks dihancurkan dan dikorbankan demi kepentingan efektifitas interpretasi.
Oleh karena itu, ia menawarkan gagasan baru dalam memahami al-Qur’an. Kajiannya difokuskan pada eksistensi atau konsep teks itu sendiri, dan membicarakan berbagai macam aspeknya. Ia ingin menunjukkan bagaimana peran teks, efektifitas teks, dan efektifitas tradisi interpretasi yang terkait dengan teks. Ia juga ingin menunjukkan pengaruh teks terhadap pemikiran mufassir. Tujuan dari kajian ini adalah agar tidak mengabaikan salah satu dari dua sisi hubungan antara teks dan mufassir.
c.       Metodologi Kajian
Sebelum melakukan kajiannya, terlebih dahulu Nasr Hamid Abu Zaid menggunakan beberapa tahapan (metode): Pertama, membaca apa yang telah ditulis oleh ulama-ulama terdahulu; Kedua, membicarakan pendapat-pendapat mereka dilihat dari kacamata kontemporer. Langkah pertama dilakukan agar mampu memahami dan menguasai pemikiran-pemikiran ulama terdahulu secara secara utuh dan mendalam. Selanjutnya dilakukan analisis dan kritik terhadap pemikiran mereka berdasarkan pendekatan kontemporer.
Kajian yang dilakukan Nasr Hamid berangkat dari sejumlah fakta di seputar teks al-Qur’an. Menurutnya, teks itu dibentuk oleh peradaban Arab pada satu sisi, dan pada sisi lain berangkat dari konsep-konsep yang diajukan teks itu sendiri mengenai dirinya. Ia berpandangan bahwa teks pada dasarnya merupakan produk budaya. Maksudnya, teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.
Menurutnya, ketika Allah swt mewahyukan al-Qur’an kepada Rasulullah saw. Allah swt memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima pertamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi dunia. Atas dasar ini, ia berkeyakinan bahwa tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terpisah dari budaya dan realitas. Oleh karena itu, baginya, tidak mungkin berbicara tentang teks terpisah dari budaya dan realitas selama teks berada di dalam kerangka budaya sistem bahasa.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka ia memilih menggunakan metode analisis bahasa (analisis teks) dalam mengkaji al-Qur’an. Menurutnya, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode humaniora yang mungkin dapat digunakan untuk memahami risalah (pesan), dan ini sekaligus berarti memahami Islam. Hal ini tentu saja sejalan dengan watak materi (objek material) dan sejalan dengan objek teks itu sendiri.
Selain metode anilisi teks, ada metode lain yang digunakan oleh Nasir Hamid, yaitu metode analisis wacana (manhaj tahlil al-kitab). Metode ini adalah yang digunakan Nasr Hamid dalam karyanya “al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah” (Teks Otoritas Kebenaran). Metode ini bertolak dari fakta bahwa pembacaan terhadap tradisi dan teks agama dalam realisasinya berbentuk “wacana-wacana” yang harus dianalisis untuk diungkap signifikansi-signifikansi, baik yang tersurat maupun yang tersirat di dalam wacana agar sampai pada analisis terhadap struktur wacana dalam stiliska dan naratifnya. Selain itu, metode ini juga bersandar pada pemanfaatan semiologi dan hermeneutika.
Menurutnya, Ada dua kaidah pokok yang patut dijadikan pegangan dalam metode analisis wacana. Pertama, bahwa wacana-wacana yang diproduksi dalam konteks kultural-historis bukan merupakan wacana-wacana tertutup atau terpisah dari yang lain. Kedua, bahwa semua wacana adalah sama. Tidak ada satu pun dari wacana-wacana itu yang berhak mengklaim sebagai yang memiliki kebenaran.
d.      Pokok-Pokok Pemikiran
Untuk mengungkap pokok-pokok pemikiran Nasr Hamid, penulis merujuk pada dua karyanya, yaitu Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an (Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an) dan Teks, Otoritas, Kebenaran (al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah). Tentu saja pemikiran Nasr Hamid tidak hanya tertuang dalam kedua karya tersebut. Namun, karena keterbatasan waktu dan sumber, maka tidak memungkinkan bagi penulis untuk mengungkap seluruh pemikiran Nasr Hamid yang tertuang dalam semua karyanya.
1)      Pandangan Terhadap Al-Qur’an
Pandangan yang paling kontroversial dari Nasr Hamid Abu Zaid terhadap al-Qur’an adalah yang menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan “produk budaya”. Maksudnya di sini adalah Al-Qur’an sebagai sebuah teks, pada dasarnya merupakan produk budaya. Hal ini mengandung arti bahwa teks terbentuk dalam realitas dan budaya lewat rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Apabila teks tersebut terbentuk dalam realitas dan budaya, maka banyak unsur dan hal yang memiliki peran dalam membentuk teks-teks tersebut.  Jika demikian halnya, maka terjadilah dialektika yang dinamis antara teks dengan kebudayaan.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa al-Qur’an menyifati dirinya sebagai risalah, dan risalah merepresentasikan hubungan antara pengirim dan penerima melalui medium sistem bahasa. Oleh karena pengirim (baca: Allah) dalam konteks al-Qur’an tidak mungkin dijadikan objek kajian ilmiah, maka wajar apabila pengantar ilmiah bagi kajian teks al-Qur’an adalah realitas dan budaya, yaitu realitas yang mengatur gerak manusia yang menjadi sasaran teks dengan penerima teks pertama (baca: Rasul) dan budaya yang menjelma dalam wujud bahasa.  Dalam konteks ini, Nasr Hamid merekomendasikan “pembacaan ulang” terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an dengan pembacaan yang baru dan serius. Dengan kata lain perlu ada kritik terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an yang telah berkembang selama ini.
Di dalam karyanya Mafhum an-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Konsep Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu al-Qur’an), Nasr Hamid menggunakan istilah “teks” sebagai konotasi dari al-Qur’an. Pemilihan kata teks merujuk pada al-Qur’an dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mistis dalam kajiannya. Oleh karena itu, ia memposisikan al-Qur’an sebagai teks tanpa atribut apapun sebagaimana teks-teks yang lain (al-Qur’an tidak dilihat dari sisi kemunculannya). Sebagai teks, satu-satunya pintu masuk ke dalamnya sebagai langkah pertama adalah perangkat kebahasaan. Perangkat bahasa dipergunakan di sini dalam kaitannya dengan fakta bahwa al-Qur’an adalah teks verbal.
Berangkat dari kerangka dasar itulah, Nasr Hamid mengupas ilmu-ilmu al-Qur’an. Setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi fokus kajiannya, yaitu:
a.       Format dan formatisasi oleh teks
Dalam konteks ini, al-Qur’an ditempatkan dalam bingkai proses komunikasi. Dalam proses pembentukan formatnya, al-Qur’an berhenti sampai dengan meninggalnya Nabi. Adapun dalam proses formatisasi oleh teks, al-Qur’an terus berinteraksi dengan kebudayaan melalui penafsirnya. Menurutnya, oleh karena al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hasil proses komunikasi, maka dalam pembentukan formatnya banyak faktor yang terlibat, seperti kondisi penerima pertama (Muhammad saw), sasaran pembicaraan (bangsa Arab) dengan segala konteks sosial dan budaya yang mengelilingi mereka. Sementara dalam proses formatisasi oleh teks, al-Qur’an membentuk budaya, dalam rangka mengubah situasi sosial dan budaya menuju situasi yang dikehendakinya, tidak secara langsung, tetapi melalui nalar manusia yang menafsirkannya.
b.      Mekanisme teks
Bagaimana teks bekerja dalam memproduksi makna? Menurut logika apa teks bekerja? Dua pertanyaan inilah yang menjadi perhatian Nasr Hamid. Menurutnya, teks bekerja tentunya melalui nalar mufassir secara intertekstual. Maksudnya teks bekerja dalam kaitannya dengan teks di luar[2]. Selain itu, al-Qur’an bekerja secara otonom setelah teks tersebut diubah menjadi mushaf. Maksudnya teks bekerja dalam kaitannya dengan teks-teks lain dalam mushaf itu sendiri. Dalam bahasa ulama al-Qur’an yafassiru ba’dhuhu ba’dhan (antara bagian-bagian al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain)
c.       Pergeseran konsep dan fungsi teks
Menurut Nasr Hamid, ada pergeseran konsep dan fungsi teks, dari teks yang berfungsi sebagai tanda dengan kekayaan makna yang dikandungnya menjadi sesuatu yang mati, tertutup dan miskin makna. Kaitannya dengan hal ini, ia menjadikan Imam al-Ghazali sebagai objek kajiannya. Karena menurutnya, al-Ghazali dianggap sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dalam mengubah realitas masyarakat Islam pada masanya dan setelahnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, konsep-konsep al-Ghazali mengenai teks dan tujuan-tujuannya berangkat dari dua titik tolak dasar, yaitu teologi Asy’ari dan ginotisme sufistik. Titik tolak Asy’ari yang mempengaruhi al-Ghazali adalah hakikat konsep teks yang menurut Asy’ari sebagai salah satu “sifat” Zat Tuhan. Sementara titik tolak sufisme yang mempengaruhi al-Ghazali adalah eksistensi manusia di muka bumi hanya dalam rangka mewujudkan keberuntungan dan keselamatan di akhirat. Jika tujuan tersebut dapat dicapai dan direalisasikan melalui upaya mewujudkan eksistensi manusia yang ideal dalam realitas sosial. Al-Ghozali memandang bahwa realisasi tujuan tersebut hanya dimungkinkan melalui sikap asketisme, menyerahkan diri kepada Allah semata dan melempar selain-Nya.
2)      Pandangan Terhadap Turats (tradisi)
Nasr Hamid Abu Zaid melihat sikap umat Islam (para ulamanya) terhadap turats sudah tidak sesuai dengan nalar-ilmiah. Sebagian besar dari mereka menganggap bahwa turats merupakan bagian dari agama (agama itu sendiri). Karena ketika berbicara tentang turats selalu identik dengan agama (al-din). Turats juga selalu membayang-bayangi dinamika kehidupan umat. Sehingga setiap muncul persoalan, maka mereka sering merujuk kepada turats untuk mencari solusi. Dengan kata lain, menurut Nasr Hamid telah terjadi apa yang disebut dengan “sakralisasi” turats.
Menurut Nasr Hamid, kata turats harus dilepaskan pada konsep kata waratsa (harta warisan). Tetapi harus merujuk pada kata turats yang muncul pada ayat 19 surat al-Fajr. Kata yang berubah menjadi konsep turats di dalam al-Qur’an adalah kata sunan, khususnya dalam bentuk kata as-sunnah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sunnah orang-orang terdahulu adalah turats dengan berbagai tingkatan pemahaman, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, adat istiadat, batas-batas perilaku, kebiasaan dan sebagainya. Ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an menentang sikap memegangi adat-istiadat dan terus menerus mengikuti sunnah-sunnah generasi masa lampau.
Menurutnya, dalam konteks hadits (sunnah), yang harus dipahami adalah mana ucapan-ucapan Rasul yang berkaitan dengan keharusan mengikuti sunnah (penjelasan terhadap al-Qur’an) dan mana ucapan-ucapan dan perbuatan Rasul yang harus diletakkan dalam konteks eksistensi sosial dari pribadi historis. Hal ini sebagaimana yang terjadi di kalangan ahlu al-hadits dan ahlu al-ra’yi. Di mana ahlu al-hadits menganggap bahwa semua yang dilakukan Nabi adalah sunnah yang harus diikuti, sedangkan ahlu al-ra’yi menganggap bahwa semua yang dilakukan Nabi (sunnah) harus dipilah mana yang sunnah syar’i dan mana yang sunnah ghairu syar’i.
3)      Kritik Nalar Teks
Menurut Nasr Hamid, selama ini pengetahuan yang dihasilkan para ulama kebanyakan berdasarkan atau berorientasi pada teks. Maksudnya kaidah-kaidah yang menghasilkan pengetahuan dalam budaya arab dibatasi oleh otoritas teks, dan tugas akal terbatas hanya memunculkan teks-teks dari teks-teks yang mendahului. Pada masa taklid, pendapat dan ijtihad para imam menjadi “teks” dalam pengertian bahwa teks tersebut menjadi ruang untuk menjelaskan, menafsirkan, menggali hukum (istinbath), dan memproduksi teks.
Fenomena di atas disebabkan dua faktor yang utama, yaitu kemandekan realitas Arab secara sosiologis, ekonomis, dan politis, baik dalam konteks sejarah negara Arab-Islam, maupun dalam konteks sejarah modern-kontemporer. Sementara faktor kedua adalah kompleksitas hubungan dengan pihak lain, yakni dunia Barat.
C.    PENUTUP
Meskipun sebagian kalangan menuduhnya sebagai pemikir yang liberal bahkan “kafir”. Namun, Nasr Hamid Abu Zaid harus diakui telah memberikan kontribusi yang besar terhadap dinamika studi ilmu keislaman. Ia telah menawarkan gagasan baru dalam studi Islam yang dulunya jarang dibahas oleh para ulama klasik. Ia termasuk pemikir yang konsekuen dan konsisten meskipun harus menerima kenyataan pahit dan menyakitkan dicap sebagai “kafir” di negerinya sendiri, Mesir. Sehingga dia harus meninggalkan tanah airnya dan menetap di Belanda.
Nasr Hamid menyadari bahwa gagasan-gagasannya bukan merupakan sesuatu yang paling benar (absolut). Baginya, gagasan-gagasan yang diusungnya masih memiliki celah untuk dikritik dan dinilai. Menurut saya, ini adalah sikap seorang ilmuan sejati sebagaimana sikap empat Imam yang masyhur, Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Salah satu contoh bagaimana Nasr Hamid menyanggah tuduhan sebagian kalangan bahwa Mafhûm al-Nash, misalnya, dituduh sebagai karya yang menempatkan teks Alqur’an sebagai teks buatan Muhammad SAW. Tuduhan semacam ini ditolak mentah-mentah oleh Abu Zayd dalam wawancaranya:
I treat the Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is not a crisis of thought, but a crisis of conscience”.
Jelas sudah bahwa Abu Zayd secara eksplisit meyakini bahwa teks Alqur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad. Teks Alqur’an turun melalui bahasa manusia, yakni bahasa Arab, agar dapat dipahami oleh penerimanya. Dengan demikian, tuduhan yang menyatakan bahwa Abu Zayd menganggap Alqur’an sebagai kitab buatan Muhammad adalah tuduhan yang muncul dari krisis hati nurani.
Kesalahpahaman itu terjadi akibat kesalahan para kritikus Abu Zayd dalam memahami istilah “Alqur’an adalah produk budaya” (muntâj tsaqâfiy). Untuk mengantisipasi kesalahpahaman itu, Abu Zayd dalam Mafhûm al-Nash menjelaskan, “wa al-maqshûd bi dzalika annahu tasyakkala fi al-wâqi’ wa al-tsaqâfat khilâla fatrah tazîdu ‘ala ‘isyrîna ‘âman”. Artinya, “Yang dimaksud dengan ‘produk budaya’ di sini adalah: Alqur’an terbentuk di tengah-tengah kenyataan sosial dan budaya Arab selama lebih dari dua puluh tahun”. Abu Zayd menegaskan lebih lanjut bahwa keimanan terhadap sumber Ilahi teks Alqur’an tidak bertentangan dengan upaya menganalisanya melalui pendekatan kultural dimana teks tersebut muncul.
Sumber:
Nasr Hamid Abu Zaid. (2005). Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an (terj). Yogyakarta: PT. LKiS
Nasr Hamid Abu Zaid. (2003). Teks Otoritas Kebenaran (terj). Yogyakarta: PT. LKiS
Irwan Masduqi. Mengenang Nasr Hamid Abu Zaid. http://islamlib.com
Ahmad bin Hanbal. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. http://ahmadbinhanbal.wordpress.com
Holilurrahman. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. http://ukpi.sunan-ampel.ac.id





[1] Data tentang biografi ini diambil dari:1)  Irwan Masduqi. Mengenang Nasr Hamid Abu Zaid. http://islamlib.com. 2) Ahmad bin Hanbal. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. http://ahmadbinhanbal.wordpress.com. 3) Holilurrahman. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. http://ukpi.sunan-ampel.ac.id

[2] Dalam tradisi Arab dikenal teks-teks semacam syi’ir, nasr, saj’ perdukunan, amtsal dan risalah. Teks-teks inilah yang muncul terlebih dahulu sebelum al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar