Entri Populer

Sabtu, 07 Mei 2011

Hadis


HADIS SHAHIH DAN HADIS HASAN
Oleh: Erik Budianto,S.PdI

Pendahuluan
Hadits jika dilihat dari jumlah banyaknya perawi (kuantitas rawi) terbagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Adapun jika dilihat dari aspek kualitas sanad, hadits terbagi menjadi tiga, yaitu shahih, hasan, dan dhaif. Pada awalnya, ulama hadits hanya membagi kualitas hadits dalam dua macam, yaitu shahih dan dhaif. Hadits dhaif itu sendiri terbagi menjadi dua macam: (1) hadits dhaif yang tidak dapat /tidak boleh diamalkan dan dipakai hujjah, dan (2) hadits dhaif yang tidak seberapa kelemahannya sehingga tidak ada halangan untuk dipakai hujjah. Selanjutnya jenis hadits yang kedua tersebut oleh Imam Turmudzi serta ahli hadits berikutnya disebut hadits hasan[1]. Jadi ulama yang pertama kali memperkenalkan istilah hadits hasan adalah Imam Turmudzi yang termuat dalam karyanya Jami’ At-Tirmidzi..
Menurut sebagian ulama, adakalanya hadits hasan termasuk hadits shahih[2]. Namun, sebagian yang lain berpendapat bahwa hadits hasan adalah hadits otonom yang tidak termasuk hadits shahih, dan tingkatannya lebih tinggi daripada hadits dhaif. Para ulama hadits sepakat bahwa semua hadits mutawatir pasti shahih. Maka kategorisasi hadits shahih, hasan, dan dhaif itu hanya diberlakukan pada hadits ahad.
Pengetahuan tentang karakteristik dan kriteria kesahihan hadis merupakan persoalan yang sangat penting. Mengingat hal inilah yang menjadikan atau menyebabkan sebuah hadis diterima (maqbul) atau ditolak (mardud). Jika menurut penelitian ulama hadis bahwa sebuah hadis dikatakan sahih atau hasan itu artinya hadis tersebut dapat dijadikan hujjah. Begitu juga sebaliknya, jika sebuah hadis tidak memiliki kriteria hadis shahih atau hasan, maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Oleh karena itu, tulisan ini akan membicarakan tentang hadits shahih dan hasan yang meliputi pengertian, Kriteria, macam-macam, Jumlah dan status wurudnya.


Pembahasan

A.     Hadits Shahih
I.       Pengertian Hadits Shahih
Secara bahasa, shahih adalah lawan dari sakit. Ini adalah makna hakiki pada jasmani. Sedangkan dalam penggunaannya pada hadits dan makna-makna yang lain, yang digunakan adalah makna majazi.[3]
Adapun secara istilah, para ulama telah memberikan definisi hadits shahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadits, yaitu sebagai berikut:
الحديث الصّحيح هو الحديث الّذي اتّصل سنده بنقل العدل الضّابط عن العدل الضّابط الى منتهاه ولايكون شاذا ولا معلّلا.
artinya:
Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan zhabit dari rawi lain yang (juga)adil dan zhabit sampai akhir sanad, dan hadits ini tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat)

II.      Kriteria Hadits Shahih
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa suatu hadits dikatakan shahih apabila memenuhi syarat-syarat yang meliputi sanad dan matan sebagai berikut:
a.    Mengenai Sanad
1.    Semua rawi dalam sanad haruslah bersifat adil. Menurut al-Razi sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari bahwa yang dimaksud adil di sini adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurau yang berlebih-lebihan.[4] Ibn al-Sam’ani menambahkan bahwa termasuk syarat adil adalah tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan syara’.[5] Sementara menurut Muhyi al-Din Abd al-Hamid, syarat keadilan rawi adalah; 1)  Islam, periwayatan orang kafir tidak diterima, 2) Mukallaf, periwayatan anak yang belum dewasa menurut pendapat lebih shahih, tidak diterima. 3) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seorang fasik dan cacat pribadi.[6]
2.    Semua rawi dalam sanad haruslah dhabit. Rawi dhabit dapat diartikan seorang rawi yang kuat hapalannya atau juga rawi yang cermat mencatat dan membukukan hadits serta mampu mengungkapkan kembali dengan cakap.[7] Dalam bahasa lain dhabit di sini dibagi dalam dua kategori, yaitu dhabit al-shadri dan dhabit al-kitab.[8]
3.    Sanadnya bersambung. Rawi tingkatan shahabat Nabi benar-benar berjumpa dan menyampaikan hadits pada rawi tingkatan kedua, dan demikian seterusnya.
4.    Tidak syad (rancu); kerancuan adalah suatu kondisi di mana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya.
5.    Tidak ada ‘illat[9] (cacat), yakni terbebas dari cacat-cacat keshahihan pada sanad seperti pemalsuan rawi.
b.    Mengenai Matan
1.    Pengertian yang terkandung dalam matan tidak boleh bertentangan dengan ayat al-Qur’an atau hadits mutawatir walaupun keadaan rawi sudah memenuhi syarat.
2.    Pengertian dalam matan tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijma’) ulama, atau tidak bertentangan dengan keterangan ilmiah yang kebenarannya dapat dipastikan secara sepakat oleh para ilmuan.
3.    Tidak ada kejanggalan lainnya, jika dibandingkan dengan matan hadits yang lebih tinggi tingkatan kedudukannya.

III.        Macam-Macam Hadits Shahih
Hadits shahih dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits shahih li zatih (shahih karena dirinya) dan hadits shahih li ghairih (hadits shahih bukan karena dirinya).
1)    Hadits Shahih Li Zatih
Hadits shahih lizatih adalah hadits shahih yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadits shahih.
contoh:
حَدَّثَناَ عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوْسُفَ اَخْبَرَناَ مَالِكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِذاَ كَانوُا ثَلاَثَةً فَلاَ يَتَناَجَى اِثْناَنِ دُوْنَ الثَّالِثِ. (رواه البخارى)
Artinya:
Bukhari berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga .(HR. Bukhari)
Hadits di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Abdullah bin Yusuf menerimanya dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itulah shahabat Nabi yang mendengar Nabi saw bersabda, seperti tercantum di atas. semua nama-nama tersebut adalah rawi-rawi yang adil, dhabit, dan benar-benar bersambung, tidak ada cacat, baik pada sanad maupun pada matan. dengan demikian hadits di atas termasuk hadits shahih lizatih.
2)    Hadits Shahih Li Ghairih
Hadits shahih li ghairih adalah hadits di bawah tingkatan shahih yang menjadi hadits shahih karena diperkuat oleh hadits-hadits yang lain. Sekiranya hadits yang memperkuat itu tidak ada, maka hadits tersebut hanya berada pada tingkatan hadits hasan. hadits shahih li ghairih hakekatnya adalah hadits hasan lizatih (hadits hasan karena dirinya). Contoh:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْ لاَ اَنْ اَشُقَّ عَلىَ اُمَّتيِ َلاَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ. (رواه البخارى و الترمذى)
Artinya:
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sekiranya aku tidak menyusahkan umatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak setiap shalat
(HR. Bukhari dan Turmudzi)
Bila suatu hadits diriwayatkan oleh lima buah sanad, maka hadits itu dihitung bukan sebagai satu hadits, tetapi lima hadits, dan seterusnya. jadi hadits tersebut di atas, yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad tersendiri dan Turmudzi dengan sanad tersendiri pula, dihitung sebagai dua hadits. Pertama adalah hadits Bukhari yang dinilai sebagai hadits lizatih, dan kedua hadits, yaitu hadits Turmudzi itu. karena diperkuat oleh hadits Bukhari, maka hadits Turmudzi naik tingkatannya menjadi hadits shahih li ghairih.
IV.       Jumlah
Para ulama telah sepakat bahwa martabat atau tingkatan hadits shahih yang paling tinggi adalah kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim. Jumlah hadits dalam shahih Bukhari sebanyak 7275 hadits termasuk yang diulang, dan 4000 hadits tanpa pegulangan. Sedangkan dalam shahih Muslim sebanyak 12.000 hadits termasuk yang diulang, dan 4000 hadits tanpa pengulangan.[10]
Jumlah yang tersebut di atas bukanlah jumlah hadits shahih secara keseluruhan. Hadits-hadits shahih juga bisa kita jumpai pada kitab-kitab selain shahihain, seperti Mustadrak Al-Hakim[11], Shahih Ibnu Hibban[12], dan Shahih Ibnu Huzaimah[13].
V.        Status Wurud
Status wurud hadits terbagi menjadi dua macam, yaitu qath’i wurud dan zhanni wurud. Hadits yang memiliki status qath’i wurud sudah dipastikan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Sedangkan hadits yang memiliki status zhanni wurud merupakan hadits yang diduga berasal dari Rasulullah, sehingga perlu diperlukan penelitian yang mendalam terhadap kualitas hadits tersebut, baik dari segi matan maupun sanad. Sehingga dapat diketahui apakah hadits-hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah atau tidak.
Para ulama sepakat bahwa hadits mutawatir adalah berstatus qath’i wurud, sedangkan hadits ahad berstatus zhanni wurud. Lantas bagaimana dengan status hadits ahad yang sudah berkualitas shahih? Apakah statusnya qath’i wurud ataukah zhanni wurud? Menurut hemat kami, hadits ahad shahih masih berstatus zhanni wurud, akan tetapi derajat ke-qath’i-annya sudah sangat tinggi. Sehingga hadits tersebut dapat dipastikan berasal dari Rasulullah saw.
Ada beberapa ungkapan yang digunakan oleh para ulama hadits kaitannya dengan hadits shahih ini. Pertama, perkataan “haditsun shahihul isnad”. Ini mengandung arti bahwa hadits tersebut yang shahih hanyalah sanadnya, sedangkan matanya belum. Kedua, perkataan “hadza haditsun shahih”. ini berarti bahwa hadits itu shahih, baik sanad maupun matannya atau dengan kata lain kelima syarat hadits shahih tersebut sudah terpenuhi.[14]
VI.       Tingkatan Hadits Shahih
Kedudukan hadits shahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi daripada hadits hasan dan hadits dhaif, tetapi di bawah kedudukan hadits mutawatir. Hadits mutawatir adalah hadits yang pasti shahih berasal dari Rasulullah saw. Hadits shahih ahad tidaklah pasti, tapi dekat kepada kepastian. Sebagian ulama menentukan urutan tingkatan hadits shahih sebagai berikut: Pertama, berdasarkan sanad. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh ashahhul asanid[15] (sanad paling sahih) memiliki tingkat paling tinggi. Kedua, berdasarkan kitab. Para ulama hadits membuat tingkatan hadits berdasarkan kitab ini menjadi 7 tingkatan, yaitu:
1.    Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaihi)
2.    Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari saja
3.    Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim saja
4.    Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim
5.    Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari saja
6.    Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim saja
7.    Hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama yang terpandang (mutabar), seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban.[16]


B.    Hadits Hasan
I.       Pengertian Hadits Hasan
Secara bahasa, hasan berarti baik dan bagus. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadits, sebagaimana menurut Ibnu Hajar:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الظَّبْطِ مُتَّصِلٌ مُسْنَدٌ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَشَاذٍ
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang sedikit kedhabitannya, bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi saw.), dan tidak mempunyai ‘illat serta tidak syadz”.[17]

Adapun menurut Imam Turmudzi yang dimaksud hasan adalah:
اِنَّ الْحَسَنَ عِنْدَناَ ماَسَلِمَ مِنَ شُذُوْذٍ وَمِنْ مُتَّهَمِ وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ
Hasan menurut pendapat kami, ialah hadits yang selamat dari syadz dan selamat dari orang-orang yang tertuduh (pendusta), dan hadits itu diriwayatkan melalui beberapa jalan”.[18]

II.      Kriteria Hadits Hasan
1)    Pada sanadnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta.
2)    Hadits tersebut tidak janggal
3)    Hadits tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat.

III.        Macam-Macam Hadits Hasan
a.    Hadits Hasan Li Zatih
Hadits hasan li zatih adalah hadits yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi (rawinya kurang dhabit).  Contoh:
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. : Sekiranya tidak memberatkan kepada umatku, tentu aku memerintahkan bersiwaq setiap akan shalat"
(HR. Turmudzi)
Di antara hadits-hadits hasan li zatih, sebagian dapat berada pada tingkatan hasan, tetapi sebagian lainnya dapat naik pada tingkatan shahih li ghairih. Maka jika hadits hasan li zatih tidak diperkuat hadits lain, maka hadits tersebut tetap berada pada tingkatan hasan li zatih.
b.    Hadits Hasan Li Ghairih
Hadits hasan li ghairih adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits hasan, karena hadits lain yang menguatkannya atau hadits hasan li ghairih adalah hadits dhaif yang karena dikuatkan oleh hadits yang lain, meningkat menjadi hasan. Contoh:
قال رسول الله ص : حقا على المسلمين ان يغتسل يوم الجمعة


Artinya:
Rasulullah saw bersabda, “Merupakan hak atas kaum muslimin mandi pada hari jum’at” (HR. Turmudzi)

IV.          Jumlah
Berapa sebenarnya jumlah hadits hasan ini belum dapat dipastikan, akan tetapi hadits-hadits hasan dapat kita jumpai pada kitab-kitab yang menghimpunnya. Diantaranya: (1) Jami’ At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi) yang merupakan sumber untuk mengetahui hadits hasan, (2) Sunan Abu Dawud, dam (3) Sunan Ad-Daruquthni.[19]
V.           Status Wurud
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya tentang status wurud hadits shahih. Maka status wurud hadits hasan adalah zhanni wurud dan derajatnya masih di bawah hadits shahih, meskipun keduanya masuk dalam kategori hadits ahad.
Implikasi dari statusnya tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang kedudukannya sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah. Sebaliknya, jumhur ulama memperlakukan hadits hasan seperti hadits shahih. Mereka menerimanya sebagai hujjah atau sumber agama Islam, baik dalam bidang hukum dan moral, maupun dalam bidang aqidah.
Ada beberapa ungkapan yang popular dalam hadits hasan. Diantaranya perkataan “hadza haditsun hasanul isnad” maksudnya adalah hadits yang hasan sanadnya saja. Kemudian perkataan “hadza haditsun hasan” maksudnya adalah hadits yang hasan yang memenuhi kriteria hadits hasan.
Ada juga ungkapan lain, misalnya perkataan At-Tirmidzi dan yang lainnya: “hadza hadits hasan shahih”. Apa maksud dari ungkapan tersebut? Bagaimana mungkin keduanya digabungkan? Ibnu Hajar menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:
1.    Bila suatu hadits mempunyai dua sanad atau lebih, maka istilah itu maksudnya adalah salah satu sanad berderajat hasan dan yang lain berderajat shahih.
2.    Bila hanya mempunyai satu sanad saja, maka lafadz itu berarti bahwa hadits itu hasan menurut pandangan sekelompok ulama, dan shahih menurut pandangan ulama lain. Jadi seolah-olah orang yang memakai sebutan itu berkata “hadits ini hasan atau shahih”.[20]

Penutup
Demikianlah sekilas pemaparan tentang hadits shahih dan hadits hasan. Beberapa kesimpulan yang dapat kami sampaikan adalah:
1.    Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan zhabit dari rawi lain yang (juga) adil dan zhabit sampai akhir sanad, dan hadits ini tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat)”
2.    Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang sedikit kedhabitannya, bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi saw.), dan tidak mempunyai ‘illat serta tidak syadz
3.    Hadits shahih memiliki lima kriteria, yaitu sanadnya bersambung, rawinya adil dan dhabit, tidak syadz, dan tidak ada ‘illat. Adapun perbedaan hadits shahih dan hasan adalah terletak pada kedhabitan seorang rawi.
4.    Hadits shahih dan hadits hasan terbagi menjadi dua macam, yaitu shahih/hasan li zatih dan shahih/hasan li ghairi.
5.    Status wurud hadits shahih dan hadits hasan adalah zhanni wurud. Tetapi status wurud hadits shahih tingkat kepastiannya lebih tinggi dibandingkan hadits hasan.

Daftar Pustaka
Al-Qathan, Manna. (2006). Mabahits fi ‘Ulumil Hadits (Terj. Mifdhol Abdurrahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Anwar, Moh. (1981). Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.
As-Siba’i, Musthafa. (1982). Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum Serta Latar           Belakang Historisnya (Terj. Dja’far Abd. Muchith). Bandung: CV.         Diponegoro.
As-Shalih, Subhi. (2002). Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu (Terj. Tim         Pustaka Firdaus).    Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hasan, A. Qadir. (2007). Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV.      Diponegoro.
Ismail, M. Syuhudi. (1995). Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan           Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press.
Mudzakir, Muhammad Ahmad. (2004). Ulumul hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Soetari, Endang. (1997). Ilmu Hadits. Bandung: Amal bakti Press.
Suparta, Munzier. (2006). Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zuhdi, Masjfuk. (1993). Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: PT. Bina Ilmu.




[1] Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal. 33-34
[2] Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Adz-Dzahabi. Alasannya adalah bahwa Imam Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits-hadits yang rawinya adalah orang-orang yang kurang cermat, tetapi tidak dicurigai berdusta. Tetapi keduanya mensyaratkan harus diperkuat dengan sanad lain yang shahih. Lihat Subhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke-V, hal. 139
[3] Manna’ al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Terj), (Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 117
[4] Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Amal Bakti Press, 1997), hal. 140
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Muhammad Ahmad, M. Mudzakir, Ulumul Hadits, (Pustaka Setia, 2004), hal. 103
[8] Endang Soetari, Opcit, hal. 141
[9] ‘Illat adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat merusak status keshahihan hadits, meskipun zhahirnya tidak nampak ada cacat
[10] Manna al-Qathan, Opcit, hal. 120
[11] Kitab ini berisi tentang hadits-hadits shahih yang sesuai dengan syarat-syarat Bukhari-Muslim atau salah satu di antara keduanya, namun tidak diriwayatkan oleh keduanya. Di dalamnya juga berisi hadits-hadits shahih menurut Imam al-Hakim sendiri.
[12] Ibnu Hibban belum menyusun kitabnya berdasarkan sistematika bab dan musnad, sehingga mempersulit dalam penelitian terhadap hadits-hadits yang ada dalam kitab tersebut. Beliau juga termasuk orang yang mempermudah dalam menghukumi keshahihan sebuah hadits.
[13] Derajat dan tingkatan kitab ini lebih tinggi daripada shahih Ibnu Hibban, karena penyusunnya sangat hati-hati dalam menghukumi sebuah hadits.
[14] Ibid, hal. 118
[15] Yang termasuk ashahhul asanid di antaranya; 1) Ibnu Syihab Az-Zuhri, dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya. 2) Muhammad bin Sirrin, dari Ubaidah bin Amru, dari Ali bin Abi Thalib. 3) Ibrahim An-Nakha’i, dari Alqamah bin Qais, dari Abdullah bin Mas’ud. 4) Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar
[16] lihat Manna Al-Qathan, opcit, hal. 120-121 dan juga Muhammad Ahmad, Ulumul Hadits, (Pustaka Setia, 2004), hal. 108
[17] Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal. 60
[18] Ibid
[19] Ibid, hal. 123
[20] Manna al-Qathan, Opcit. Hal. 122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar