Entri Populer

Rabu, 11 Januari 2012

Madrasah Unggulan


MADRASAH UNGGULAN DALAM TINJAUAN
Oleh: Erik Budianto, S.PdI

Dewasa ini madrasah mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan. Hal ini ditandai dengan beberapa hal, yaitu pertama, madrasah saat ini sudah menjadi sub-sistem pendidikan nasional. Artinya, politik pendidikan di Negara ini memperhatikan dan memberikan ruang terhadap upaya-upaya pengembangan madrasah dan pengakuan atas kesetaraan kedudukan dalam system pendidikan nasional. Berbagai kebijakan pengembangan madrasah bisa kita lihat dengan adanya Madrasah Wajib Belajar (MWB), program penegerian madrasah, SKB 3 Menteri, UUSPN tahun 1989, pengembangan madrasah model dan MA keagamaan (khozin, 2006), dan akhir-akhir ini pengembangan madrasah unggulan. Kedua, animo masyarakat terhadap lembaga pendidikan madrasah semakin hari semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya para orang tua memasukkan anak-anaknya ke madrasah.
Perkembangan madrasah tentu saja menjadi angin segar bagi masyarakat muslim pada khususnya. Madrasah diharapkan mampu memainkan peranan dalam kehidupan yang senantiasa berubah. Pendidikan madrasah harus mampu membekali pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik agar bisa menghadapi tantangan zaman.
Berkaitan dengan program madrasah unggulan, di satu sisi memiliki beberapa kelebihan, tapi di sisi lain juga tidak lepas dari kelemahan. Oleh karena itu, tulisan ini berupaya melakukan peninjauan kembali (analisis) terhadap model madrasah tersebut. Apakah program madrasah unggulan sudah sejalan dengan makna filosofis pendidikan ataukah malah bertentangan, sehingga pengembangan madrasah unggulan malah bersifat kontra produktif.

a.    Karakteristik Madrasah Unggulan
Untuk mengawali perbincangan tentang madrasah unggulan serta kegunaannya dalam analisis, maka penulis mengutip apa yang telah ditulis oleh saudara pemakalah utama tentang karakteristik madrasah unggulan. Dalam tulisan tersebut telah dijelaskan bahwa ciri Madrasah unggul sebagaimana yang ditegaskan oleh Depdikbud adalah sebagai berikut: (1) Input terseleksi secara ketat, (2) Sarana dan prasarana yang menunjang, (3)   Lingkungan belajar yang kondusif, (4) Guru dan tenaga kependidikan professional, (5) Inovasi kurikulum, (6) Kurun waktu belajar lebih lama dibanding sekolah/madrasah lain, (7) Proses belajar harus berkualitas dan responsible, (8) Bermanfaat terhadap masyarakat, (9) Program pengayaan.
Beberapa dari karakteristik di atas, menurut penulis perlu dilakukan peninjauan kembali, diantaranya; input terseleksi secara ketat, kurun waktu belajar lebih lama, dan bermanfaat terhadap masyarakat. Apakah ketiga poin tersebut dalam pelaksanaannya sudah sesuai dengan konsepnya ataukah tidak. Maka dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan filosofis, psikologis, dan sosiologis.

b.   Sekolah/Madrasah Unggulan Tinjauan Filosofis
Dalam tradisi masyarakat pendidikan kita, sekolah unggulan sering diistilahkan dengan “excellent school”. Nampaknya penggunaan istilah ini jarang digunakan oleh Negara-negara maju. Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik dan berkualitas tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan digunakan kata effective, develop, accelerate, dan essential .
Kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Hal ini sangat sejalan dengan fungsi pokok pendidikan, yaitu pengembangan potensi dan kreatifitas. Sementara potensi anak tentu sangat heterogen (multiple intelegence), sehingga pendidikan seyogyanya mampu mewadahi heterogenitas itu. Apabila suatu pendidikan tidak melakukan itu – meskipun itu sekolah/madrasah unggul- sejatinya ia tidak bisa disebut sebagai sekolah/madrasah unggul.
Berkaitan dengan adanya program kelas unggulan pada sekolah/madrasah unggul, menurut Profesor Suyanto, program kelas (baca: sekolah) unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah ‘malpraktik’ dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis, tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen.

c.    Madrasah Unggulan Tinjauan Psikologis
Adanya konsep bahwa pada sekolah/madrasah unggulan waktu belajar harus lebih lama dari sekolah/madrasah yang lain (tidak unggulan), di satu sisi memang itu sebuah keniscayaan. Karena beban yang ditanggung madrasah lebih berat dibanding sekolah umum. Dalam waktu yang bersamaan madrasah dituntut membekali peserta didik tentang ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Namun dalam prakteknya tentu saja memiliki implikasi psikologis bagi peserta didik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa-siswa di sekolah/madrasah unggulan banyak yang mengalami stress. Mengingat beban pelajaran dan tugas yang diberikan oleh para guru sangat padat.
Menarik tentang hal ini, menurut Mujamil Qomar, salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah adalah dengan menyederhanakan beban studi. Filosofinya, lebih baik mata pelajaran sedikit tetapi siswa menguasainya daripada banyak tetapi serba tidak menguasai. Maka, mata pelajaran yang tidak ada kelanjutannya pada jenjang pendidikan di atasnya sebaiknya dihapus (Qomar, 2007).
Selain itu, munculnya sikap superiority dan inferiority di kalangan siswa. Bagi siswa yang bersekolah di madrasah unggulan (kelas unggulan) menjadikan mereka merasa lebih unggul, dan cenderung meremehkan yang lain. Sedangkan bagi siswa yang bersekolah di madrasah yang bukan unggulan (kelas unggulan) merasa rendah diri (inferior).
Kalau sekolah/madrasah tidak mampu mengatasi kondisi tersebut, maka akan terjadi ketimpangan dan penyimpangan yang luar biasa dalam pendidikan. Pendidikan yang mempunyai misi memanusiakan manusia berbalik menjadi proses dehumanisasi.

d.   Madrasah Unggulan Tinjauan Sosiologis
Kehadiran madrasah unggulan sejatinya upaya untuk merespon kebutuhan masyarakat (community needs). Masyarakat sekarang ini menginginkan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak mereka, khususnya masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke atas. Dengan kata lain, madrasah unggulan merupakan konsumsi masyarakat golongan itu.
Implikasinya, layanan pendidikan yang berkualitas tidak lagi menjadi milik masyarakat luas, tetapi milik masyarakat tertentu. inilah yang akhirnya memunculkan gap di tengah-tengah masyarakat. Madrasah unggulan seakan menjadi icon golongan atas, dan madrasah yang tidak unggulan menjadi icon golongan bawah.
Dengan demikian, karakteristik madrasah unggulan, yakni ‘bermanfaat bagi masyarakat’ berjalan timpang. Pendidikan menjadi memihak pada salah satu golongan saja dan mengerdilkan golongan yang lain. Selain itu, tingkat sosialisasi siswa menjadi terhalang oleh sekat-sekat sosiologis itu.
e.    Restrukturisasi Madrasah Unggulan
Agar prestasi belajar yang tinggi dapat dimiliki oleh seluruh siswa, maka konsep sekolah/madrasah unggulan hendaknya direstrukturisasi. Penulis mendapatkan konsep ini dari sebuah artikel inspiratif yang ditulis oleh Iqbal Fahri (Kepala SMP Daar el-Salam).
 Restrukrutisasi sekolah/madrasah unggulan yang ditawarkan meliputi: Pertama, program sekolah/madrasah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bersosialisasi dengan semua siswa dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat keunggulan matematis tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan pelajaran matematika.
Kedua, konsep pengembangan sekolah/madrasah unggulan didasari atas upaya sadar untuk mendidik anak belajar berpikir, belajar hidup, belajar menjadi diri sendiri, dan belajar untuk hidup mandiri. Oleh karena itu, sekolah/madrasah unggulan seyogyanya mampu menginternalisasi serta mengembangkan Learning How to Learn (belajar bagaimana belajar), artinya belajar tidak hanya berupa transformasi pengetahuan tetapi jauh lebih penting adalah mempersiapkan keterampilan belajar siswa (learning skill) sehingga mampu memanfaatkan sumber-sumber belajar yang mereka temukan dari pengalaman sendiri, pengalaman orang lain maupun dari lingkungan dimana dia tumbuh guna mengembangkan potensi, perkembangan diri, serta kemandirian belajarnya.
Ketiga, sekolah/madrasah unggulan hendaknya dikembangkan dan dilandasi atas tiga idealisme, yang selama ini kurang dieksplorasi substansi dan implementasinya. Yaitu: (1) employability adalah idealism untuk memperebutkan peluang dalam suasana ekonomi kompetitif di era globalisasi (baca: generasi kompetitif); (2) humanizing capitalism yaitu idealisme pendidikan yang menekankan pada orientasi humanistik universal untuk memanusiakan kapitalisme. Pendidikan humanisme diarahkan untuk memupuk rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial. Keunggulan fisik dan prestasi di sekolah/madrasah unggulan tidak akan bermakna, manakala tidak ada rasa kemanusiaan antar sesama. dan (3) idealisme yang menekankan pada pandangan hidup keagamaan untuk mencegah penyalahgunaan sains dan teknologi pada masa mendatang.
Keempat, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam ruang lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan siswa dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yang dikenal dengan kecerdasan majemuk (multiple intelligence).
Kelima, sekolah/madrasah unggulan lebih menekankan pada penciptaan iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah. Sekolah/madrasah unggulan adalah sekolah/madrasah yang dapat menerima dan mampu memproses siswa yang masuk sekolah tersebut (input) dengan prestasi belajar minimum menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi.
Keenam, sekolah/madrasah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah yang unggul yaitu memiliki budaya sekolah yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargai prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.

f.     Penutup
Upaya peningkatan kualitas sekolah/madrasah tidak harus mengabaikan prinsip-prinsip etik dalam pendidikan. Dalam kampanyenya, pendidikan senantiasa memproklamirkan diri sebagai usaha memanusiakan manusia, akan tetapi dalam praktiknya malah sering melakukan dehumanisasi.
Dehumanisasi yang dimaksud adalah tidak adanya pengakuan atas keanekaragaman potensi manusia. bahwa setiap manusia memiliki berbagai jenis macam kecerdasan (multiple intelegence). Hilangnya nilai-nilai sosial dalam penyelenggaraan sekolah/madrasah unggul. Dan ujung-ujungnya menimbulkan diferensiasi social (social gap) di tengah-tengah masyarakat.
Meskipun begitu, peningkatan kualitas madrasah harus senantiasa digalakkan dengan selalu melakukan re-evaluasi, re-konsepsi, dan re-formulasi. Hal itu sebagai upaya meminimalisir kelemahan-kelemahan yang terjadi selama ini.



Referensi
Barizi, Ahmad (Ed). Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: PT    RajaGrafindo Persada, 2005.
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam. Malang: UMM Press, 2006.
Fadjar, A. Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam.Jakarta: LP3NI, 1998.
Fahri, Iqbal. Sekolah Unggulan dalam Tinjauan. Artikel PDF
Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam. Penerbit Erlangga, 2007.



FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM


FILSAFAT PENDIDIKAN (ISLAM) DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PI/PAI
Oleh: Erik Budianto
Dewasa ini problem-problem moral dan etika manusia semakin menggejala dan masih sukar tuk dipecahkan. Ini adalah sebuah fenomena yang paradoks. Mengingat saat ini menjamur institusi-institusi pendidikan. Pendidikan yang dijadikan harapan dan tumpuan untuk menjadikan kehidupan yang lebih baik ternyata masih belum berperan secara maksimal. Bahkan ditengarai pendidikan makin jauh dari makna etis pendidikan. Pendidikan yang dalam kampenyenya selalu mengklaim dirinya sebagai agen kemanusiaan, tetapi dalam prakteknya pendidikan terkadang menjadi agen dehumanisasi.
Bila setiap pengelola dan pelaksana pendidikan memahami tugas dan fungsi pendidikan seharusnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan tidak mesti terjadi. Secara sederhana bisa penulis sebutkan bahwa tugas dan fungsi pokok pendidikan ada 2. Pertama, pendidikan adalah proses pengembangan potensi. Oleh karena itu, segala proses pendidikan harus mengarah pada pengembangan potensi peserta didik. Peserta didik harus diberi ruang dan kesempatan untuk berkreasi dan berinovasi sesuai dengan potensi dasarnya. Pendidikan tidak boleh membelenggu apalagi memasung daya kreatifitas anak. Kedua, pendidikan adalah proses pewarisan dan pelestarian budaya. Nilai-nilai luhur yang ada pada generasi sebelumnya harus diwariskan pada anak tanpa mengabaikan nilai-nilai yang selaras dengan perkembangan zaman di mana anak itu hidup. Kedua fungsi tersebut tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus berjalan seiring dan seirama.
Dalam rangka mewujudkan kedua fungsi tersebut, pendidikan harus dirumuskan dengan baik dan ideal. Untuk merumuskan pendidikan yang baik dan ideal, salah satu pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan filosofis. Filsafat adalah hal paling mendasar dalam hidup. Oleh karena itu, filsafat selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Dari pemaparan di atas, tulisan ini bertujuan membincang kegunaan filsafat, khususnya filsafat pendidikan Islam dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum merupakan salah satu faktor terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, kurikulum harus dirancang dan disusun secara ideal agar pendidikan berjalan secara efektif dan efisien.
Pembahasan dalam tulisan ini meliputi pertama, hakikat filsafat pendidikan Islam. kedua, urgensi filsafat pendidikan Islam. Ketiga, madzhab-madzhab filsafat pendidikan (pendidikan Islam) serta implikasi dalam pengembangan kurikulumnya.
a.    Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Pada dasarnya tradisi filsafat berasal dari tradisi Yunani yang diadopsi oleh masyarakat Islam. Hal ini Nampak pada aspek etimologis dari kata filsafat. Mayoritas ahli menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari Yunani, philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Jadi filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan (pengetahuan). Meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab. Pandangan ini disampaikan oleh Harun Nasution, menurutnya kata filsafat memiliki wazan (pola) fa’lala, fa’lalah, dan fi’lal. Dengan demikian, kata benda falsafa adalah falsafah dan filsaf.
Secara historis, masuknya tradisi filsafat ke dalam kehidupan umat Islam adalah pada saat terjadi gelombang penerjemahan kitab-kitab Yunani pada masa khalifah Al-Makmun. Penerjemahan tersebut selanjutnya mendorong lahirnya tradisi keilmuan di kalangan umat Islam, sehingga pada masa itu Islam mengalami masa kegemilangan dalam bidang keilmuan (golden age).
Pengertian terhadap filsafat sangat beraneka ragam. Tetapi pengertian yang representatif diberikan oleh Sidi  Gazalba sebagaimana yang dikutip Toto Suharto, bahwa filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, atau hakikat mengenai segala yang ada.[1]
Pemaduan filsafat dan pendidikan Islam selanjutnya melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri, yakni filsafat pendidikan Islam. Menurut Marimba, ketiga kata tersebut sudah menjadi satu kesatuan yang saling sifat mensifati. Sehingga yang dimaksud filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang bercorak Islam.[2]
Dalam pandangan Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran agama Islam, tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Allah yang berkepribadian demikian. Sarana dan upaya apa sajakah yang dapat mengantarkan pencapaian cita-cita demikian dan sebagainya. [3]
b.   Urgensi Filsafat Pendidikan Islam
Mengelola suatu lembaga pendidikan bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi yang dimaksud mengelola tidak sekedar dalam pengertian “mempertahankan” yang sudah ada, tetapi melakukan pengembangan secara sistematik dan sistemik, yang mengikuti aspek ideologis (visi dan misi), kelembagaan dan langkah operasionalnya serta mencerminkan pertumbuhan (growth), perubahan (change) dan pembaruan (reform).[4]
Dalam upaya pembaharuan pendidikan Islam, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain: Pertama, perlu adanya pemikiran kembali tentang konsep pendidikan Islam yang ideal, yaitu pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya yang kuat; Kedua, adanya kejelasan cita-cita; Ketiga, memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya; Keempat, perbaikan manajemen; Kelima, peningkatan mutu sumber daya manusia.[5]
Pengelola pendidikan dituntut memiliki kedalaman normatif dan ketajaman visi. Yang pertama, dibutuhkan agar pengelola pendidikan dapat mendiskripsikan secara mendasar dan mendalam tentang manusia yang ingin dihasilkan. Sedangkan ketajaman visi dibutuhkan agar pendidikan selalu dapat berkesinambungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan, sehingga manusia yang dihasilkan dari pendidikan adalah model manusia yang mempunyai kesiapan dalam menghadapi tantangan masa depan.[6] Untuk mewujudkan itu semua, maka pendidikan Islam sangat memerlukan atau menggunakan berbagai pendekatan, salah satunya pendekatan filsafat.
Rumusan sistem pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan Islam. Menurut Abdrahman Salih, perumusan sistem pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak. Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan non-muslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha mengangkat pesan besar Ilahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini berasal dari Al-Qur’an dan Hadits.[7] Hal ini mengindikasikan adanya upaya memadukan kebenaran yang dihasilkan oleh wahyu (agama) dan filsafat (science).
Menurut Ahmad Tafsir, salah satu kegunaan filsafat adalah sebagai methodology, maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam memandang dunia (world view). Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ingin mencari asal masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan yang seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.[8]
Dalam konteks pendidikan Islam, filsafat sangat membantu dalam merumuskan aspek-aspek kependidikan Islam. Filsafat sebagai induk ilmu dan bagan konseptual kebudayaan akan merupakan basis intelektual bagi penyusunan konsep pendidikan dan juga penyelenggaraan proses belajar mengajar.[9] Menurut Maksum, pendekatan filsafat dapat mengungkap persoalan-persoalan tentang hakikat Tuhan, hakikat manusia, tujuan pendidikan, apakah tujuan itu bersifat tetap atau berubah, mengapa tujuan itu harus begitu, apa latar belakang atau asumsinya, bagaimana mencapai tujuan itu, sampai kapan proses pendidikan itu harus berlangsung, apa instrumennya, siapa saja yang dilibatkan dan mengapa, seberapa jauh pelibatan masing-masing personal tersebut. Dengan demikian filsafat pendidikan Islam berfungsi menjadi pedoman dan arah berpikir dalam mencapai hasil pendidikan yang dicita-citakan.[10]
Sementara menurut Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan Islam seharusnya bertugas dalam 3 dimensi, yaitu: Pertama, memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan pada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Kedua, melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut. Ketiga, melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.[11]
Demikianlah urgensi filsafat pendidikan Islam dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam sekaligus menjadi kompas yang membantu mengarahkan ke arah mana pendidikan Islam akan dibawa.

c.    Madzhab-madzhab Filsafat Pendidikan[12]
1)   Filsafat Pendidikan Idealisme
Tokoh pencetus pertama filsafat idealisme adalah Plato. Idealisme dalam filsafat adalah aliran pemikiran filsafat yang kental dengan corak metafisik. Idealisme memandang bahwa realitas itu tidak lain adalah ide-ide, akal, pikiran, atau jiwa, bukan benda-benda material ataupun kekuasaan.
Menurut para filsuf idealisme, pendidikan bertujuan membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi siswa. Karena bakat manusia berbeda-beda, pendidikan yang diberikan kepada setiap orang harus sesuai dengan bakatnya masing-masing. Kurikulum pendidikan idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional atau praktis. Pendidikan liberal yang dimaksud adalah dalam rangka mengembangkan kemampuan rasional dan moral. Sedangkan pendidikan vokasional dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan suatu kehidupan atau pekerjaan. Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme lebih memfokuskan pada isi yang obyektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook agar pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
Filsafat pendidikan idealisme memposisikan guru pada kedudukan yang paling strategis. Seorang guru harus memiliki keunggulan intelektual dan moral. Guru harus bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi siswa. Guru berfungsi sebagai personifikasi kenyataan si anak didik. Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar. Sedangkan siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya.
2)   Filsafat Pendidikan Realisme
Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John Locke bahwa akal-pikir jiwa manusia tidak lain adalah tabula rasa, ruang kosong tak ubahnya kertas putih kemudian menerima impresi dari lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan dipandang dibutuhkan karena untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi sesuai dengan apa yang dipandang baik.
3)   Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Sehingga dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah.
Selain itu, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari social. Setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan itu kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi social yang ada.
Dalam pendidikan pragmatisme, guru menjadi pendamping subjek didik yang dipandang jauh lebih memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai problem. Ia menjadi pengarah atau pemandu aktivitas-aktivitas subjek didik di luar hal-hal yang dibutuhkan mereka, dengan pertimbangan-pertimbangan dan pengalaman yang lebih luas.
Metode pengajaran pragmatisme lebih menekankan pengalaman sebagai sesuatu yang utama. Oleh karenanya, pengajaran-pengajarannya lebih bersifat tidak formal dan menghindari ke-kaku-an, biasanya dilakukan di luar (out door), di alam terbuka, dan berbagai tempat yang disukai peserta didik.
Dengan demikian, menurut John Dewey dan kalangan pragmatis lainnya, kurikulum tidak boleh dibagi dalam bidang materi yang membatasi dan tidak alamiah. Kurikulum harus dibangun atas dasar unit-unit alamiah, tidak menimbulkan persoalan, serta melahirkan pengalaman yang menekan subjek didik.
4)   Filsafat Pendidikan Progresivisme
Teori pendidikan progresivisme secara umum dipengaruhi filsafat pragmatisme, khususnya pemikiran yang dilahirkan John Dewey. Aliran ini tidak pernah menjadi sistem pemikiran yang sistematis dan konsisten, tetapi lebih banyak terpusat pada eksperimentasi-eksperimentasi yang berdasarkan investigasi-investigasi ilmiah sains modern.
Meskipun demikian, progesivisme selalu menentang cara-cara pendidikan tradisional yang selalu menempatkan guru sebagai subjek dan peserta didik sebagai objek, pola pengajaran yang bertumpu pada metode textbook, serta proses pendidikan yang bersifat pasif.
5)   Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, terbuka pada perubahan, toleran, dan tidak ada terkait dengan doktrin tertentu. Aliran ini memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.  Dengan kata lain, aliran ini memandang bahwa nilai-nilai itu bersifat konstan, tidak bisa berubah, kekal, dan akan selalu abadi.
Esensialisme memandang bahwa kurikulum hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Dengan demikian, tugas pendidikan adalah mengajarkan pengetahuan dasar dan keterampilan-keterampilan dasar yang berkaitan dengan pemerolehan materi dalam hidup. Dalam praktiknya, para esensialisme cenderung menekankan sesuatu yang dikenal dengan 3R (reading, writing, dan aritmetic).
Peran guru di kalangan esensialis sangat berbeda dengan di kalangan progesif yang sama sekali tidak otoritatif bahkan hanya menjadi fasilitator, sebaliknya berupaya untuk kembali menjadi otoritatif. Oleh karena itu, sikap-sikap yang ditanamkan adalah menanamkan rasa hormat terhadap otoritas, ketekunan, tugas, pertimbangan, dan kepraktisan.
6)   Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan progesif dan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Perenialisme menentang pandangan progesivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno, dan abad pertengahan.
Untuk itulah, pendidikan sekarang harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiaannya kepada kebudayaan masa lampau yang ideal serta telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain, perenialisme memiliki pandangan yang bertolak (anti) terhadap modernistik yang telah menjauh dari tradisi dan terlalu mengedepankan logika dan rasio modernistik daripada sumber pengetahuan lainnya serta terlalu memandang sesuatu berdasarkan materi (materialistik).
Bagi perenialis, nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
Dalam konteks itu, kurikulum pendidikan bersifat subject centered, berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat seragam, universal dan abadi. Selain itu, materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai rational content yang lebih besar. Dengan demikian, titik berat kurikulum diletakkan pada pelajaran sastra, matematika, bahasa, dan humaniora, termasuk sejarah (liberal art). Adapun sumber dan cara mempelajari seni liberal tersebut adalah dengan cara mempelajari the greats book.
7)   Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme sangat berhubungan erat dengan pendidikan, karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Pendidikan menurut pandangan eksistensialisme diarahkan untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Pendidikan eksistensialisme berusaha memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
Di sini anak didik disadari sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pendidikan. Kurikulum eksistensialis cenderung bersifat liberal, membawa manusia pada kebebasan manusia. Oleh karena itu, di sekolah harus diajarkan pendidikan social untuk mengajarkan rasa hormat terhadap kebebasan, serta privasi masing-masing individu. Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan, tetapi ditawarkan agar hubungan antara guru dan siswa direalisasikan sebagai suatu dialog.
8)   Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran ini berkeyakinan bahwa tugas penyelematan dunia merupakan tugas semua umat manusia dan bangsa. Oleh karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan manusia.
Aliran ini juga mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Nilai-nilai demokrasi yang sungguh bukan hanya teori, melainkan mesti menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran, serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna ras, suku, nasionalisme, agama, dan masyarakat yang bersangkutan.
9)   Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan filsafat pendidikan yang lainnya. ketika filsafat menjadi satu kesatuan dengan pendidikan Islam, kajian kefilsafatan dalam pendidikan Islam berlandaskan pada pandangan ajaran Islam. Pandangan Islam adalah prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits yang dikembangkan oleh para mujtahid dari waktu ke waktu.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk terwujudnya insan kamil yang memiliki integritas iman, moral, dan amal, adanya kesatuan antara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus menyentuh tiga ranah, yaitu hati (heart), akal (head), life skill (hand). Dan ketiganya harus berjalan secara simultan dan sistemik.
Hal itu senada dengan rumusan tujuan pendidikan Islam pada Kongres Pendidikan Islam Sedunia tahun 1980 di Islamabad bahwa: “Pendidikan harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan, dan rasio, perasaan dan panca indera”.[13]
Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan komprehensif[14], mencakup ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan duniwi dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan ukhrawi kelak. Pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, seperti aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, dan sebagainya.

d.   Epilog
Dari pemaparan-pemaparan di atas, dapat diambil benang merah bahwa filsafat pendidikan, khususnya filsafat pendidikan Islam sangat memiliki implikasi yang kuat terhadap model kurikulum yang akan diterapkan dalam suatu lembaga pendidikan. Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang utuh, yang memiliki berbagai macam dimensi, maka kurikulum harus disusun secara integrated, holistik, dan komprehensif.
Dengan berbagai macam aliran filsafat pendidikan, sebenarnya pendidikan Islam lebih diuntungkan. Pada masing-masing aliran tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan metode eklektis, pendidikan Islam bisa mengadopsi gagasan-gagasan pada aliran-aliran tersebut yang dianggap sejalan dengan nilai-nilai Islam, khususnya dalam konteks pendidikan. Wallahu a’lam bi al-shawab

Daftar Pustaka
Arifin, Muzayyin.. Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi). Cet. II. Jakarta:       PT. Bumi Aksara, 2005.
Fajar, A. Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI, 1998.
______________. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan      Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999.
Gandhi, Teguh Wangsa. Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat     Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Maksum dan Luluk Yunan. Paradigma Pendidikan Universal:Di Era        Modern dan Post Modern Yogyakarta: IRCISoD, 2004.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. 1986
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Rosda Karya, 2001.
__________. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam. Jakarta: PT.      RajaGrafindo Persada, 2005.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:       Kencana, 2006.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi     Pengetahuan. Bandung: Rosda Karya, 2006.





[1] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hal. 26
[2] Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), Cet. VI, hal. 10
[3] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 1
[4] A. Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: 1998), hal. 91
[5] A. Malik fajar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999), hal. 37
[6] A. Malik Fajar, Visi Pembaruan..., hal. 91-92
[7] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), hal.3
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Rosda Karya, 2006), Cet. II, hal. 103-104
[9] Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), Cet. II, hal. 65
[10] Ali Maksum dan Luluk Yunan, Paradigma Pendidikan Universal:Di Era Modern dan Post Modern (Yogyakarta: IRCISoD, 2004), hal. 283-284
[11] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 2
[12] Beberapa aliran filsafat pendidikan tersebut, kecuali filsafat pendidikan Islam, penulis sarikan dari buku Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan karya Teguh Wangsa Gandhi HW
[13] Lihat Muzayyin Arifin, Filsafat…, 119
[14] Muzayyin Arifin, Filsafat…, hal. 86