Entri Populer

Minggu, 01 Mei 2011

Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid


MAKALAH TENTANG
Studi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid

(Makalah ini ditulis sebagai tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Perkembangan Pemikiran Islam)

Dosen Pengampu:  Prof. Dr. Tobroni, M.Si







Oleh:
Erik Budianto


PROGRAM STUDI MAGISTER AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2011
Pendahuluan

Dalam kajian Islam kontemporer, nama Nasr Hamid Abu Zaid tentu sangat popular dan familiar. Pemikir yang cukup fenomenal ini berasal dari Mesir, namun dia menemukan eksistensinya di Leiden-Belanda. Gagasan-gagasannya senantiasa menjadi perbincangan di kalangan pengkaji ilmu-ilmu keislaman (islamisist), khususnya dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Sebagian kalangan menganggap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid ini menyimpang dari nilai luhur ajaran Islam (melecehkan Islam). Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah para pemikir yang “konservatif”. Di pihak lain, ada kelompok yang mendukung atau sejalan dengan pemikiran-pemikirannya. Kelompok ini biasanya berasal dari kelompok pemikir Muslim “liberal-reformis”.
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang paling kontroversial adalah pandangannya yang menyatakan bahwa “Al-Qur’an adalah produk budaya”. Konon karena pemikirannya ini, menyebabkan dia divonis  murtad” oleh Mahkamah Agung Mesir dan dijatuhi hukuman harus menceraikan istrinya. Namun, ia terlepas dari tuntutan hukuman tersebut karena melarikan diri ke Belanda. Nah, di sanalah ia mendapatkan tempat untuk terus mengembangkan gagasan-gagasannya.
Sebagai akademisi patut kiranya kita mengkaji lebih mendalam tentang pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Sehingga kita tidak terjebak atau mengikuti tanpa dasar dalam menolak ataupun menerima pemikiran-pemikirannya. Yang menjadi stressing dari pembahasan ini adalah bagaimana metodologi yang digunakan oleh Nasr Hamid untuk memproduksi gagasan-gagasannya dan apa produk-produk dari pemikirannya, letak kekuatan dan kelemahannya, serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam. Namun pada bagian awal, penulis mengupas terlebih dahulu riwayat hidup dan latar belakang pemikirannya. Ini penting guna mengetahui kapabilitas seorang Nasr Hamid terkait dengan kajian yang digelutinya.

Pembahasan

a.    Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zaid lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa propinsi Tanta Mesir Bagian Barat. Semenjak kecil dia dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang sangat religius . Dia termasuk anak yang beruntung karena dia melewati masa kanak- kanak dan dewasa di negeri Mesir di mana disana adalah alam kebebasan berpikir dan termasuk pusat sumber khazanah keislaman. Sehingga kondisi ini secara dinamis berpengaruh pada pertumbuhan intelektualitasnya. Bahkan dalam usia delapan tahun dia sudah menghafal kitab suci Al-Qur’an 30 juz di luar pendidikan formalnya. Selain itu, sejak usia 11 tahun, ia juga bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslimin adalah organisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat. Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap Islam.
 Nasr Hamid Abu Zaid menempuh pendidikan madrasah Ibtidaiyah di kampung halamannya pada tahun 1951. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah tehnologi di distrik Kafru Zayyad, propinsi Gharbiyah.  Dia masuk di sekolah ini untuk memenuhi keinginan ayahnya untuk sekolah di kejuruan meskipun dia sangat ingin sekali melanjutkan studinya di al-Azhar. pada tahun 1968 dia kemudian melanjutkan studi ke Fakultas Adab di Universitas Kairo dan tamat pada tahun 1972 dengan nilai cum laude (memuaskan ). Dia melanjutkan studi S2-nya di almamater yang sama dan berhasil menyelesaikan tesisnya dengan judul qadhiyat almajaz fi al-qu’an inda mu’tazilah dan berhasil dengan nilai yang memuaskan pada tahun 1976. Kemudian pada tahun 1981 dia meraih gelar doctor dari universitas yang sama dengan risalah desertasinya yang berjudul Ta’wilu al-Qur’an ’Inda Muhyiddi al Arabi dengan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan serta mendapat penghargaan tingkat pertama . Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 semuanya dikonsentrasikan pada bidang Bahasa dan Sastra Arab. Nasr Hamid Abu Zaid juga pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern Studies University of Pensylivania Philadelphia USA.
Selama di Amerika, Nasr Hamid mempelajari filsafat dan hermeneutika. Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka matanya. Demikianlah pengakuannya dalam otobiografinya (Adian Husaini, 2006).
Dari hasil intelektualnya ini akhirnya dia memutuskan untuk mengabdi di almamaternya. Ia sempat menjadi asisten dosen dan kemudian menjadi dosen dalam bidang adab dan filsafat sejak 1982. Pada tahun 1992, dia dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat, terutama Uthman Ibn ‘Affan. Menurutnya, Utsman Ibn ‘Affan, mempersempit bacaan al-Qur’an yang beragam menjadi satu versi, Quraisy. Pemikirannya juga dianggap melecehkan ajaran Islam, menghujat Rasulullah `, menodai al-Qur’an dan menghina para ulama salaf. Karena pemikirannya yang kontroversial itu, akhirnya ia divonis “murtad”, yang dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Semenjak peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Awalnya, di Netherland Nasr menjadi Profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995, dan sejak tanggal 27 Desember 2000 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar di bidang Bahasa Arab dan studi Islam di Universitas tersebut.
Dalam putusan Mahkamah Agung Mesir pada tanggal 5 Agustus 1996, sebagaimana dikutip oleh Syamsudin Arif dalam Adian Husaini, menyebutkan kesalahan-kesalahan Nasr Hamid sebagai berikut: Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah mitos belaka. Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai kalamullah yang telah ada dalam lauhul Mahfuz. Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik. Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an adalah “tradisi reaksioner” serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam. Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos. Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia. Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy. Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah saw. Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama”. Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk pada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan (Amir Syarifudin dalam Adian Husaini, 2006).
Nasr Hamid juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan gelar penghormatan, diantaranya; 1975-1977 dari Ford Foundation Fellowship at the American University in Cairo, tahun 1985-1989: Visiting Profesor, Osaka University of Foreign Studies Japan dan tahun 2002-2003; Fellow at the Wissenschatten College in Berlin. Nasr Hamid Abu Zaid menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 5 Juli 2010.
b.   Kegelisahan Intelektual
Produk pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentu sangat dipengaruhi dominasi intelektualnya, yakni di bidang bahasa dan sastra. Mengingat pendidikan tingginya dihabiskan atau digunakan untuk mempelajari bahasa dan sastra Arab, serta pengalamannya dia belajar filsafat dan hermeneutika di Amerika yang menjadikan latar belakang dan sumber inspirasinya, maka fokus kajiannya adalah pada teks (al-Qur’an) atau hadits.
Intensitasnya dalam studi bahasa dan sastra Arab menyebabkan ia sering bergumul dengan kajian al-Qur’an. Kondisi ini juga didukung oleh intensitasnya berinteraksi dengan mahasiswa jurusan bahasa Arab di Universitas Kairo, baik di universitas induk maupun di cabang Khourtoum, Sudan. Melalui dua mata kuliah yang ia ajarkan, al-Qur’an-Hadits, dan Balaghah Arab, ia bersama mahasiswanya melakukan pengujian dari berbagai macam aspek terhadap sejumlah hipotesis yang seluruhnya berkisar di seputar al-Qur’an (Nasr Hamid, 2005).
Namun, dialog antara Nasr Hamid, mahasiswa dan para koleganya tidak hanya pada persoalan al-Qur’an, tapi meluas pada persoalan budaya dan Negara. Hal ini dilakukan atas dasar kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari realitas masyarakat (negara).
Dalam konteks akademis, pemikiran-pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid merupakan pengembaraan kajian terhadap tradisi intelektual yang sudah berkembang dari sudut pandang hubungan dan dialektika mufassir dengan teks. Beberapa kajian yang telah dilakukan Nasr Hamid adalah mengenai interpretasi (ta’wil) teks al-Qur’an, baik yang didasarkan pada rasio sebagaimana yang dilakukan kalangan Mu’tazilah, atau yang didasarkan pada intuisi-spekulatif sebagaimana yang dilakukan kalangan sufi. Menurutnya, dua kajian tersebut difokuskan pada horizon intelektual dan epistemologis yang menjadi titik tolak proses penafsiran dan interpretasi. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa menonjolkan peran mufasir dalam memahami teks, dan dalam menemukan makna dan signifikansi teks, memberikan anggapan bahwa aktifitas interpretasi dan penafsiran hanya sekedar menarik teks ke horizon pembaca dan penafsir. Menurutnya, inilah yang terjadi pada filsafat hermeneutika kontemporer yang memberikan tekanan lebih besar pada peran pembaca dan mufassir, sehigga eksistensi teks dihancurkan dan dikorbankan demi kepentingan efektifitas interpretasi.
Oleh karena itu, ia menawarkan gagasan baru dalam memahami al-Qur’an. Kajiannya difokuskan pada eksistensi atau konsep teks itu sendiri, dan membicarakan berbagai macam aspeknya. Ia ingin menunjukkan bagaimana peran teks, efektifitas teks, dan efektifitas tradisi interpretasi yang terkait dengan teks. Ia juga ingin menunjukkan pengaruh teks terhadap pemikiran mufassir. Tujuan dari kajian ini adalah agar tidak mengabaikan salah satu dari dua sisi hubungan antara teks dan mufassir.
c.    Metodologi Kajian
Sebelum melakukan kajiannya, terlebih dahulu Nasr Hamid Abu Zaid menggunakan beberapa tahapan (metode): Pertama, membaca apa yang telah ditulis oleh ulama-ulama terdahulu; Kedua, membicarakan pendapat-pendapat mereka dilihat dari kacamata kontemporer (Nasr hamid, 2005). Langkah pertama dilakukan agar mampu memahami dan menguasai pemikiran-pemikiran ulama terdahulu secara secara utuh dan mendalam. Selanjutnya dilakukan analisis dan kritik terhadap pemikiran mereka berdasarkan pendekatan kontemporer.
Kajian yang dilakukan Nasr Hamid berangkat dari sejumlah fakta di seputar teks al-Qur’an. Menurutnya, teks itu dibentuk oleh peradaban Arab pada satu sisi, dan pada sisi lain berangkat dari konsep-konsep yang diajukan teks itu sendiri mengenai dirinya. Ia berpandangan bahwa teks pada dasarnya merupakan produk budaya. Maksudnya, teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun (Nasr Hamid, 2005).
Menurutnya, ketika Allah swt mewahyukan al-Qur’an kepada Rasulullah saw. Allah swt memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima pertamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi dunia. Atas dasar ini, ia berkeyakinan bahwa tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terpisah dari budaya dan realitas. Oleh karena itu, baginya, tidak mungkin berbicara tentang teks terpisah dari budaya dan realitas selama teks berada di dalam kerangka budaya sistem bahasa (Nasr Hamid, 2005).
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka ia memilih menggunakan metode analisis bahasa (analisis teks) dalam mengkaji al-Qur’an. Menurutnya, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode humaniora yang mungkin dapat digunakan untuk memahami risalah (pesan), dan ini sekaligus berarti memahami Islam. Hal ini tentu saja sejalan dengan watak materi (objek material) dan sejalan dengan objek teks itu sendiri (Nasr Hamid, 2005).
Selain metode anilisi teks, ada metode lain yang digunakan oleh Nasir Hamid, yaitu metode analisis wacana (manhaj tahlil al-kitab). Metode ini adalah yang digunakan Nasr Hamid dalam karyanya “al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah” (Teks Otoritas Kebenaran). Metode ini bertolak dari fakta bahwa pembacaan terhadap tradisi dan teks agama dalam realisasinya berbentuk “wacana-wacana” yang harus dianalisis untuk diungkap signifikansi-signifikansi, baik yang tersurat maupun yang tersirat di dalam wacana agar sampai pada analisis terhadap struktur wacana dalam stiliska dan naratifnya. Selain itu, metode ini juga bersandar pada pemanfaatan semiologi dan hermeneutika (Nasr Hamid, 2003).
Menurutnya, Ada dua kaidah pokok yang patut dijadikan pegangan dalam metode analisis wacana. Pertama, bahwa wacana-wacana yang diproduksi dalam konteks kultural-historis bukan merupakan wacana-wacana tertutup atau terpisah dari yang lain. Kedua, bahwa semua wacana adalah sama. Tidak ada satu pun dari wacana-wacana itu yang berhak mengklaim sebagai yang memiliki kebenaran (Nasr Hamid, 2003).
d.   Karya-Karya
Sebagai akademisi, Nasr Hamid telah menghasilkan banyak karya sebagai sarana untuk menuangkan ide dan gagasan-gagasannya. Beberapa karya beliau yang telah diterbitkan antara lain:
1)   Al-Ittijah al-‘Aqliy fi al-Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah)
2)   Falsafat al-Takwil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn Arabi)
3)   Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Konsep Teks: Studi Ulumul Qur’an)
4)   Isykaliyat al-Qir’ah wa Alliyat al-Ta’wil (Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik)
5)   Naqd al-Khithab al-Diniy (Kritik Wacana Agam)
6)   Al-Imam al-Syafi’I wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Washathiyyah (Imam Syafi’I dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah)
7)   Al-Nash, Al-Shultah, Al-Haqiqah (Teks, Otoritas, Kebenaran)
(Adian Husaini, 2006)

e.    Pokok-Pokok Pemikiran
Untuk mengungkap pokok-pokok pemikiran Nasr Hamid, penulis merujuk pada dua karyanya, yaitu Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an (Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an) dan Teks, Otoritas, Kebenaran (al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah). Tentu saja pemikiran Nasr Hamid tidak hanya tertuang dalam kedua karya tersebut. Namun, karena keterbatasan waktu dan sumber, maka tidak memungkinkan bagi penulis untuk mengungkap seluruh pemikiran Nasr Hamid yang tertuang dalam semua karyanya.
1)   Pandangan Terhadap Al-Qur’an
Pandangan yang paling kontroversial dari Nasr Hamid Abu Zaid terhadap al-Qur’an adalah yang menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan “produk budaya”. Maksudnya di sini adalah Al-Qur’an sebagai sebuah teks, pada dasarnya merupakan produk budaya. Hal ini mengandung arti bahwa teks terbentuk dalam realitas dan budaya lewat rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Apabila teks tersebut terbentuk dalam realitas dan budaya, maka banyak unsur dan hal yang memiliki peran dalam membentuk teks-teks tersebut.  Jika demikian halnya, maka terjadilah dialektika yang dinamis antara teks dengan kebudayaan (Nasr Hamid, 2005).
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa al-Qur’an menyifati dirinya sebagai risalah, dan risalah merepresentasikan hubungan antara pengirim dan penerima melalui medium sistem bahasa. Oleh karena pengirim (baca: Allah) dalam konteks al-Qur’an tidak mungkin dijadikan objek kajian ilmiah, maka wajar apabila pengantar ilmiah bagi kajian teks al-Qur’an adalah realitas dan budaya, yaitu realitas yang mengatur gerak manusia yang menjadi sasaran teks dengan penerima teks pertama (baca: Rasul) dan budaya yang menjelma dalam wujud bahasa.  Dalam konteks ini, Nasr Hamid merekomendasikan “pembacaan ulang” terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an dengan pembacaan yang baru dan serius (Nasr Hamid, 2005). Dengan kata lain perlu ada kritik terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an yang telah berkembang selama ini.
Di dalam karyanya Mafhum an-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Konsep Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu al-Qur’an), Nasr Hamid menggunakan istilah “teks” sebagai konotasi dari al-Qur’an. Pemilihan kata teks merujuk pada al-Qur’an dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mistis dalam kajiannya. Oleh karena itu, ia memposisikan al-Qur’an sebagai teks tanpa atribut apapun sebagaimana teks-teks yang lain (al-Qur’an tidak dilihat dari sisi kemunculannya). Sebagai teks, satu-satunya pintu masuk ke dalamnya sebagai langkah pertama adalah perangkat kebahasaan. Perangkat bahasa dipergunakan di sini dalam kaitannya dengan fakta bahwa al-Qur’an adalah teks verbal (Nasr Hamid, 2005).
Berangkat dari kerangka dasar itulah, Nasr Hamid mengupas ilmu-ilmu al-Qur’an. Setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi fokus kajiannya, yaitu:
a.    Format dan formatisasi oleh teks
Dalam konteks ini, al-Qur’an ditempatkan dalam bingkai proses komunikasi. Dalam proses pembentukan formatnya, al-Qur’an berhenti sampai dengan meninggalnya Nabi. Adapun dalam proses formatisasi oleh teks, al-Qur’an terus berinteraksi dengan kebudayaan melalui penafsirnya. Menurutnya, oleh karena al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hasil proses komunikasi, maka dalam pembentukan formatnya banyak faktor yang terlibat, seperti kondisi penerima pertama (Muhammad saw), sasaran pembicaraan (bangsa Arab) dengan segala konteks sosial dan budaya yang mengelilingi mereka. Sementara dalam proses formatisasi oleh teks, al-Qur’an membentuk budaya, dalam rangka mengubah situasi sosial dan budaya menuju situasi yang dikehendakinya, tidak secara langsung, tetapi melalui nalar manusia yang menafsirkannya (Nasr Hamid, 2005).
b.   Mekanisme teks
Bagaimana teks bekerja dalam memproduksi makna? Menurut logika apa teks bekerja? Dua pertanyaan inilah yang menjadi perhatian Nasr Hamid. Menurutnya, teks bekerja tentunya melalui nalar mufassir secara intertekstual. Maksudnya teks bekerja dalam kaitannya dengan teks di luar. Selain itu, al-Qur’an bekerja secara otonom setelah teks tersebut diubah menjadi mushaf. Maksudnya teks bekerja dalam kaitannya dengan teks-teks lain dalam mushaf itu sendiri. Dalam bahasa ulama al-Qur’an yafassiru ba’dhuhu ba’dhan (antara bagian-bagian al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain)
c.    Pergeseran konsep dan fungsi teks
Menurut Nasr Hamid, ada pergeseran konsep dan fungsi teks, dari teks yang berfungsi sebagai tanda dengan kekayaan makna yang dikandungnya menjadi sesuatu yang mati, tertutup dan miskin makna. Kaitannya dengan hal ini, ia menjadikan Imam al-Ghazali sebagai objek kajiannya. Karena menurutnya, al-Ghazali dianggap sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dalam mengubah realitas masyarakat Islam pada masanya dan setelahnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, konsep-konsep al-Ghazali mengenai teks dan tujuan-tujuannya berangkat dari dua titik tolak dasar, yaitu teologi Asy’ari dan ginotisme sufistik. Titik tolak Asy’ari yang mempengaruhi al-Ghazali adalah hakikat konsep teks yang menurut Asy’ari sebagai salah satu “sifat” Zat Tuhan. Sementara titik tolak sufisme yang mempengaruhi al-Ghazali adalah eksistensi manusia di muka bumi hanya dalam rangka mewujudkan keberuntungan dan keselamatan di akhirat. Jika tujuan tersebut dapat dicapai dan direalisasikan melalui upaya mewujudkan eksistensi manusia yang ideal dalam realitas sosial. Al-Ghozali memandang bahwa realisasi tujuan tersebut hanya dimungkinkan melalui sikap asketisme, menyerahkan diri kepada Allah semata dan melempar selain-Nya (Nasr Hamid, 2005).
2)   Pandangan Terhadap Turats (tradisi)
Nasr Hamid Abu Zaid melihat sikap umat Islam (para ulamanya) terhadap turats sudah tidak sesuai dengan nalar-ilmiah. Sebagian besar dari mereka menganggap bahwa turats merupakan bagian dari agama (agama itu sendiri). Karena ketika berbicara tentang turats selalu identik dengan agama (al-din). Turats juga selalu membayang-bayangi dinamika kehidupan umat. Sehingga setiap muncul persoalan, maka mereka sering merujuk kepada turats untuk mencari solusi. Dengan kata lain, menurut Nasr Hamid telah terjadi apa yang disebut dengan “sakralisasi” turats (Nasr Hamid, 2003).
Menurut Nasr Hamid, kata turats harus dilepaskan pada konsep kata waratsa (harta warisan). Tetapi harus merujuk pada kata turats yang muncul pada ayat 19 surat al-Fajr. Kata yang berubah menjadi konsep turats di dalam al-Qur’an adalah kata sunan, khususnya dalam bentuk kata as-sunnah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sunnah orang-orang terdahulu adalah turats dengan berbagai tingkatan pemahaman, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, adat istiadat, batas-batas perilaku, kebiasaan dan sebagainya. Ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an menentang sikap memegangi adat-istiadat dan terus menerus mengikuti sunnah-sunnah generasi masa lampau.
Menurutnya, dalam konteks hadits (sunnah), yang harus dipahami adalah mana ucapan-ucapan Rasul yang berkaitan dengan keharusan mengikuti sunnah (penjelasan terhadap al-Qur’an) dan mana ucapan-ucapan dan perbuatan Rasul yang harus diletakkan dalam konteks eksistensi sosial dari pribadi historis. Hal ini sebagaimana yang terjadi di kalangan ahlu al-hadits dan ahlu al-ra’yi. Di mana ahlu al-hadits menganggap bahwa semua yang dilakukan Nabi adalah sunnah yang harus diikuti, sedangkan ahlu al-ra’yi menganggap bahwa semua yang dilakukan Nabi (sunnah) harus dipilah mana yang sunnah syar’i dan mana yang sunnah ghairu syar’i.
3)   Kritik Nalar Teks
Menurut Nasr Hamid, selama ini pengetahuan yang dihasilkan para ulama kebanyakan berdasarkan atau berorientasi pada teks. Maksudnya kaidah-kaidah yang menghasilkan pengetahuan dalam budaya arab dibatasi oleh otoritas teks, dan tugas akal terbatas hanya memunculkan teks-teks dari teks-teks yang mendahului. Pada masa taklid, pendapat dan ijtihad para imam menjadi “teks” dalam pengertian bahwa teks tersebut menjadi ruang untuk menjelaskan, menafsirkan, menggali hukum (istinbath), dan memproduksi teks.
Fenomena di atas disebabkan dua faktor yang utama, yaitu kemandekan realitas Arab secara sosiologis, ekonomis, dan politis, baik dalam konteks sejarah negara Arab-Islam, maupun dalam konteks sejarah modern-kontemporer. Sementara faktor kedua adalah kompleksitas hubungan dengan pihak lain, yakni dunia Barat (Nasr Hamid, 2003).

f.     Kekuatan dan Kelemahan
Setiap produk pemikiran yang dihasilkan oleh para ulama (ilmuan/cendekiawan) tentu memiliki kelebihan/kekuatan dan kelemahan. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis akan menganalisis letak kekuatan dan kelemahan pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. Dalam analisis ini penulis menggunakan sumber tulisan atau referensi yang telah melakukan kajian terhadap pemikiran Nasr Hamid.

1)   Kekuatan
Menurut Amin Abdullah, metode yang digunakan Nasr Hamid Abu Zaid merupakan kombinasi tiga pendekatan antara hadharatu al-nash (peradaban teks) dan hadharatu al-‘ilm (peradaban pengetahuan) dan hadharatu al-falsafah (Peradaban falsafah). Bagian hadharatu al-‘ilm terkait sekali dengan soal tafkir, seperti pendekatan sosiologis, antropologis, dan lain sebagainya. Adapun yang dimaksud hadharatu al-falsafah adalah akhlak baru yang membebaskan. Kombinasi tiga pendekatan tersebut sangat cocok untuk studi Islam di perguruan tinggi.
Pemikiran yang diusung Nasr Hamid sangat menekankan pada tradisi ilmiah dalam memahami Islam (al-Qur’an dan hadis/turats). Hal ini bisa menumbuhkan semangat tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga bisa mengikis stagnasi pemikiran dan sikap taklid umat Islam.
2)   Kelemahan
Selain kelebihan yang terdapat pada metode dan pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid, tetapi juga memiliki beberapa kelemahan.  Menurut Adian Husaini (2007), problem besar yang muncul jika hermeneutika ala Nasr Hamid digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an adalah; Pertama, metode hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Dalam konteks al-Qur’an, upaya pengumpulan naskah-naskah al-Qur’an pada masa khalifah Utsman bin Affan, yang dikenal dengan Mushaf Utsmani sering dicurigai sebagai upaya hegemoni budaya Arab Quraisy terhadap budaya-budaya yang lain. Kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyah). Karena untuk menerapkan hermeneutika, maka teks al-Qur’an yang sacral (suci) harus diturunkan derajatnya menjadi teks manusiawi. Ketiga, aliran hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan. Selain itu, pandangan Nasr Hamid yang mengenyampingkan keimanan seseorang untuk mengkaji al-Qur’an tidaklah tepat. Karena di antara syarat mufasir yang disepakati oleh para ulama adalah berkaitan dengan keberagamaan dan akhlak (Adnin Armas, 2005).
g.    Pengaruh Pemikiran terhadap Perkembangan Pemikiran Islam
Terlepas dari sikap pro dan kontra terhadap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid, bahwasanya beliau telah memberikan kontribusi yang besar terhadap dinamika studi ilmu keislaman. Sebagai pemikir kontemporer, Nasr Hamid telah memberikan angin segar bagi dinamika pemikiran Islam yang selama ini stagnan. Ia telah menawarkan gagasan baru dalam studi Islam yang dulunya jarang dibahas oleh para ulama klasik, khususnya studi ilmu al-Qur’an. Metode analisis teks (sastra) yang beliau tawarkan merupakan salah satu metode baru yang dapat digunakan dalam studi ilmu al-Qur’an.
Dalam konteks Indonesia, pengaruh pemikiran Nasr Hamid sangat terasa. Perguruan-perguruan tinggi Islam (baca: UIN) telah menjadikan metode hermeneutika dan semiotika dalam studi al-Qur’an sebagai mata kuliah wajib pada mata kuliah tafsir hadis (fakultas Ushuluddin). Selain itu, banyak pemikir Muslim kontemporer, seperti Amin Abdullah, mengusung pemikiran Nasr Hamid dalam studi keislaman.
Penutup
berdasarkan deskripsi tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid di atas, penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1)   Latar belakang kehidupan dan keilmuan Nasr Hamid Abu Zaid adalah bergelut di bidang bahasa dan sastra Arab. Hal ini yang menjadikan fokus kajiannya adalah pada aspek teks (sastra).
2)   Metode yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid dalam melakukan kegiatan akademisnya adalah terlebih dahulu membaca semua karya-karya ulama terdahulu. Lalu melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu kontemporer.
3)   Dalam melakukan kritik terhadap studi ilmu al-Qur’an, Nasr Hamid menggunakan pendekatan kritik teks (Hermeneutika-semiotika). Sedangkan kritiknya terhadap turats menggunakan pendekatan kritik wacana.
4)   Kekuatan pemikiran Nasr hamid terletak pada kombinasi pendekatan yang digunakan dan upaya menggugah tradisi ilmiah pada umat Islam. Sedangkan kelemahannya terletak pada kekurang tepatan dalam penggunaan hermeneutika-semiotika untuk menafsirkan al-Qur’an. Sehingga dapat menghilangkan transendensi teks al-Qur’an dan menghasilkan relatifitas tafsir.
5)   Pengaruh pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dalam dinamika perkembangan pemikiran Islam sangat besar.




Sumber:
Nasr Hamid Abu Zaid. (2005). Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap       Ulumul Qur’an (terj). Yogyakarta: PT. LKiS
Nasr Hamid Abu Zaid. (2003). Teks Otoritas Kebenaran (terj). Yogyakarta:         PT. LKiS
Armas, Adnin. (2005). Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an: Kajian     Kritis. Jakarta: Gema Insani.
Husaini, Adian. (2006). Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam di      Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insani.
______________ . (2007). Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema           Insani.




1 komentar:

  1. terima kasih sudah membagi makalah anda dan memperluas wawasan saya tentang Nasr Hamid
    salam hangat

    BalasHapus