Entri Populer

Rabu, 04 Mei 2011

Pemikiran Hukum Islam di Indonesia


Pemikiran di Bidang Hukum Islam
Oleh: Erik Budianto, S.PdI
Akhir-akhir ini isu penerapan syariat Islam (hukum Islam) semakin ramai dibicarakan. Sebenarnya munculnya persoalan ini bisa kita lihat dari sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dinamika politik yang melingkupinya, mulai era pra kemerdekaan, era orde lama, era orde baru, dan era reformasi sampai dengan saat ini.
Hubungan agama dan Negara senantiasa menjadi perbincangan yang serius di kalangan para founding father bangsa ini hingga generasi-generasi berikutnya. Namun, sejauh ini upaya-upaya tokoh-tokoh muslim pada masa awal untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara nampaknya belum berhasil. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa hal; pertama, dihapusnya butir pertama pada piagam madinah. kedua, dibubarkannya partai Masyumi oleh pemerintah Soekarno. Ketiga, dijadikannya Pancasila sebagai asas tunggal pada era orde baru.
Pada masa pemerintahan orde lama hingga pertengahan pemerintah orde baru, hubungan agama (Islam) dan Negara bersifat antagonistik. Namun, pada masa pemerintahan orde baru (pasca pertengahan hingga menjelang akhir kekuasaan), hubungan agama (Islam) dan negara bersifat akomodatif. Dalam kondisi ini, Islam dan para tokohnya bak mendapat angin segar. Aspirasi umat Islam sudah didengarkan oleh Negara dan ajaran Islam sudah mendapatkan wadah (posisi).
Sikap kaum muslim Indonesia terbagi dalam dua kelompok, yaitu  yang pro (mendukung) dan kontra (menolak). Bagi kelompok yang pro, penerapan syariat adalah keharusan, dan itu hanya bisa diwujudkan jika syariat menjadi hukum formal atau lebih jauh lagi syariat menjadi dasar negara yang pada ujungnya adalah pembentukan negara Islam. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok “Islam formalis”. Namun, bagi kelompok yang kontra, syariat tidak harus menjadi dasar negara, akan tetapi syariat bisa menjadi bagian dari hukum nasional. Argument yang sering disampaikan oleh kelompok yang kontra ini adalah bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang pluralistik, terdiri dari berbagai suku, etnis, budaya, dan agama. Selain itu, tidak ada prototipe negara Islam di dunia ini, bahkan dalam al-Qur’an maupun hadits tidak ada yang menjelaskan konsep negara Islam secara rinci. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok “Islam substantif”.
Oleh karena itu, tulisan ini akan membicarakan beberapa hal yang menjadi batasan persoalan. Pertama, tentang perumusan hukum Islam dan bagaimana pandangan kelompok Islam formalis dan Islam Substantif. Kedua, tentang pengaturan agama di ranah publik. Dan ketiga, tentang problematika penerapan syariat di Indonesia.
Pemikiran Di Bidang Hukum Islam
Sebagai pengantar pada pembahasan ini, kiranya perlu dijelaskan beberapa hal, yaitu pertama, apa itu hukum Islam? hukum Islam diidentikkan dengan fiqh. Sebenarnya istilah fiqh itu sendiri mengalami perkembangan yang mencakup setidaknya tiga fase. Pertama, istilah fiqh yang berarti paham (understanding). Dalam konteks ini, Fiqh mengacu pada proses aktivitas untuk memahami atau menafsirkan al-Qur’an atau Sunnah Nabi. Dengan kata lain fiqh identik dengan ra’yu. Kedua, fiqh mengacu pada pengetahuan (knowlwdge) yang berarti menjadi identik. Ketiga, fiqh berarti suatu jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan Islam atau ilmu-ilmu keislaman. Yakni, hanya disiplin “hukum Islam”.
Selain itu, terkadang istilah hukum Islam juga disandingkan dengan istilah syariah. Akan tetapi antara  hukum Islam dan syariah masih sering muncul kerancuan. Walaupun demikian, nampaknya para ulama mengambil sikap dengan mencari save position dengan menyamakan saja antara hukum Islam dengan syariah, maka kita kenal dengan istilah syariat Islam.
Meskipun demikian, ada perbedaan yang mendasar antara hukum Islam (fiqh) dengan syariah. Perbedaan itu terlihat pada dasar atau dalil yag digunakannya. Jika syariah didasarkan pada nash al-Qur’an atau Sunnah Nabi secara langsung, tanpa memerlukan penalaran, sedangkan hukum Islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibagun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syariah. Dengan demikian, jika syariah bersifat permanen, kekal dan absolut, hukum Islam (fiqh) bersifat temporer, dan dapat berubah.[1]
Kedua, bagaimana sejarah lahirnya pemikiran hukum  Islam? Bagi pemeluk Islam, jelas akan mengatakan bahwa hukum Islam itu lahir sejak agama Islam itu sendiri lahir, yakni sejak masa kenabian Muhammad saw. Hal ini tentu berbeda dengan sebagian kajian kritis di Barat. Joseph Schacht misalnya menjelaskan berdasarkan hasil riset sejarahnya bahwa hukum Islam lahir pada akhir abad ke 1 Hijriyah atau awal abad ke 8 Masehi atau dengan kata lain, pemikiran hukum Islam bermula dari akhir pemerintahan dinasti Umayyah. Ini mengandung arti bahwa pada masa abad ke 1 H atau abad ke 7 M, hukum Islam belum lahir.
Pandangan Schacht di atas, tentu saja mendapat penentangan dari mayoritas umat Islam dan bahkan sebagian dari ilmuan Barat sendiri, misalnya Noel J. Coulson. Meskipun demikian, mengenai wujud hukum Islam, ada semacam kesepakatan bahwa pada masa Nabi dan sahabat, hukum Islam belum tersistematisasikan. Ada yang berpendapat bahwa sistematisasi hukum Islam baru mulai pada masa tabi’in. hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya al-ahkam al-khamsah itu baru terjadi pada masa Imam Syafi’i. Meskipun pada masa Nabi dan sahabat hukum Islam belum tersistematisasikan, namun praktik hukum Islam pada dasarnya dapat kita ketahui sejak masa ini.[2]

Perumusan Hukum Islam: Antara Substantif dan Formalis
Sebagaimana yang telah kami singgung pada bagian pendahuluan, dalam konteks Indonesia, terdapat dua pandangan terkait dengan persoalan hukum Islam (syariat Islam). Bachtiar Effendy memberikan pandangan terhadap sikap umat Islam di Indonesia dalam menyikapi persoalan ini menjadi dua kelompok, yakni Islam legal-formal dan Islam substansial.
Islam legal-formal, secara sederhana dapat diartikan sebagai pemikiran yang menghendaki agar Islam secara formal memainkan peran utama dalam kehidupan bernegara. Pemikiran ini lebih cenderung berorientasi kepada teks-teks keagamaan dalam makna skriptual. Mereka terobsesi untuk mengaitkan Islam dan Negara secara formal, yang seringkali muncul dalam bentuk keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara; Islam sebagai agama Negara; kepala Negara harus beragama Islam; dan umat Islam – dengan pengawasan Negara – wajib menjalankan ajaran agamanya.[3]
Pemikiran dan gerakan ini muncul sejak 1930-an hingga 1960-an. Strategi ini ditandai oleh dua karakter utama: (1) politik non-integratif atau partisan, dan (2) parlemen sebagai satu-satunya medan perjuangan. Strategi politik ini, akhirnya menempatkan Islam dalam posisi antagonistic vis-à-vis Negara. Bahkan dalam beberpa kasus, Islam dianggap sebagai ancaman terhadap pancasila. Sementara kalangan Islam yang mayoritas merasa kurang terakomodasi dalam struktur politik nasional, melalui “desain besar politik” penguasa orde lama maupu orde baru yang menempatkan agama sebagai variable pinggiran dalam pembagunan (sekulerisasi politik).[4]
Adapun Islam substantif, secara sederhana dapat diartikan sebagai pemikiran yang lebih mengutamakan isi dari pada bentuk, iklusifisme dari pada sektarianisme. Bahkan pemahaman terhadap doktrin-doktrin Islam dan corak sosiologis masyarakat Indonesia, mereka menyatakan menolak gagasan tentang Islam sebagai dasar Negara.[5]
Pemikiran dan gagasan ini muncul sejak dasawarsa 1970-an, yakni seiring dengan munculnya gelombang pembaruan politik Islam yang dipelopori generasi baru intelektual Muslim. Perhatian utama mereka adalah terbentuknya sebuah sistem sosial-politik yang merefleksikan atau sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan strategi ini, maka hubungan Islam dan Negara yang pada awalnya antagonistik berubah menjadi akomodatif, yakni Negara memiliki kecenderungan untuk mengakomodasi beberapa aspirasi umat Islam.[6]
Hubungan akomodatif antara Islam dan Negara tersebut ditandai dengan diterapkannya beberapa kebijakan Negara yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik umat Islam. Di antara kebijakan-kebijakan itu antara lain: (1) RUU Pendidikan Nasional, di mana pendidikan agama menjadi core kurikulum pendidikan nasional; (2) RUU Peradilan Agama tahun 1989; (3) Kompliasi Hukum Islam, konten dari KHI adalah mengenai perkawinan, pembagian waris, dan pengelolaan wakaf, infak, dan sedekah; (4) Kebijakan tentang Jilbab; (5) SKB tentang Baziz tahun 1968; (6) Lahirnya Bank Muamalat tahun 1991.[7]
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa sebenarnya sebagian besar hukum Islam dalam kontek Indonesia sekarang ini sudah diformalkan. Namun ada satu bagian dari hukum Islam yang belum dapat diwujudkan, yakni mengenai persoalan hudud atau jinayat. Nampaknya aspek ini yang menyebabkan perbincangan mengenai penerapan hukum Islam masih berkepanjangan dan belum menemukan titik temu dari kedua kelompok. Menurut Abdullah Ahmed al-Naim sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, perlu pengkajian dan perumusan ulang mengenai hudud, khususnya dalam konteks “cross cultural, cross religious, penological and sociological setting”. Karena terdapat banyak perbedaan di antara ulama yang menimbulkan ketidakpastian, sehingga memunculkan potensi penetapan dan penerapan hudud secara tidak pas.[8]
Oleh karena itu, perumusan kembali hukum Islam dalam konteks Indonesia menjadi keniscayaan. Sebenarnya pemikiran untuk merumuskan kembali hukum Islam dalam konteks kekinian sudah berkembang sejak lama. Misalnya tentang reaktualisasi hukum Islam yang digagas oleh Munawir Sadzali atau pemikiran tentang rekontruksi hukum Islam oleh para pemikir yang lain.
Beberapa kajian akademis juga sudah banyak dilakukan oleh para akademisi. Menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA, syariah dalam arti yang luas,  ada yang dapat dilaksanakan oleh individu tanpa bantuan negara atau masyarakat. Ada pula yang pelaksanaannya memerlukan bantuan masyarakat walaupun tidak perlu bantuan kekuasaan negara. Ada pula yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa campur tangan negara.[9]
Atas dasar itu, maka kaidah-kaidah syariah yang bersifat individual pelaksanaannya tidak perlu dengan campur tangan negara. Sedangkan kaidah-kaidah syariah yang pelaksanaannya perlu bantuan masyarakat, tetapi tidak perlu bantuan kekuasaan negara, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat. Adapun kaidah-kaidah syariah yang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara, maka pelaksanaannya harus atas campur tangan negara. Inilah yang dimaksud dengan syariah dalam arti hukum, yaitu hukum Islam, dan syariah dalam arti ini pulalah yang kiranya harus digarap untuk diterapkan oleh negara.
Dalam konteks ini, beliau menawarkan gagasan untuk merumuskan hukum Islam, yakni melalui beberapa tahapan; Pertama, pengolahan bahan baku hukum (langkah hermeneutis). Kedua, langkah sosialisasi. Ketiga, langkah politik. Keempat, langkah penegakan. Namun, beliau hanya menjelaskan dua langkah yang pertama, yaitu:
Pertama, Pengolahan baha baku hukum (langkah Hermeneutis). Pengolahan materi syariah dalam langkah hermeneutis ini diarahkan kepada upaya-upaya yang meliputi; (1) pemilahan norma-norma syariah ke dalam kategori-kategori seperti yang telah disinggung di atas. (2) langkah hermeneutis dalam pelaksanaan syariah diserahkan kepada pengkajian materi syariah yang merupakan norma hukum dalam arti yang sesungguhnya, yaitu norma yang penegakannya mengharuskan campur tangan Negara.
Pengkajian materi ini ditujukan pertama, untuk merekonstruksi kerangka dan bahasa hukum Islam (syariah) sebanding dengan bahasa dan kerangka hukum di mana syariah itu hidup berdampingan. Kedua, pengkajian materi hukum syariah juga ditujukan untuk menyeleksi materi hukum Islam dan menemukan asas-asas serta nilai-nilai dasar hukum Islam yang masih relevan dengan kebutuhan hukum masyarakat serta menafsir ulang dan mengijtihadi kembali peraturan-peraturan hukum kongkrit yang tidak relevan lagi. Ketiga, pengkajian juga ditujukan untuk menyusun pelapisan norma syariah guna menentukan mana yang dikategorikan norma-norma dasar, mana asas-asas dan mana peraturan hukum konkrit yang bersifat instrumentalis. Keempat, pengkajian materi syariah ditujukan untuk membangun dan meningkatkan mutu diskursus syariah guna mendukung akseptabilitasnya secara akademik.
Kedua, Langkah sosialisasi. Langkah sosialisasi ditujukan untuk membentuk kesadaran hukum syariah di masyarakat. Pelaksanaan syariat tidak akan efektif apabila tidak didukung oleh suatu tingkat kesadaran masyarakat untuk menerima dan menerapkannya. Kesadaran hukum meliputi tingkat-tingkat berikut dari yang paling rendah yaitu, (1) kenal hukum syariah, (2) kenal dan mengetahui isi hukum syariah, (3) kenal, mengetahui isi dan menaruh respek terhadapnya, dan (4) di samping kenal, tahu isinya, dan respek, juga bersedia dan memiliki komitmen untuk melaksanakannya. Untuk melakukan sosialisasi tersebut, maka tidak diragukan lagi akan urgensi dan signifikansi kontribusi pendidikan dalam berbagai lapisan dan jalurnya.[10]
Yang tak kalah menarik adalah kajian akademis yang dilakukan oleh Prof. Dr. A. Qodri Azizy (seorang pakar hukum Islam). Ia menawarkan gagasan baru dalam merumuskan hukum Indonesia. Ia menjelaskan bahwa sejauh ini ada dikotomik antara hukum Islam dan hukum umum (Indonesia). Padahal menurutnya, Hukum di Indonesia ini memiliki 3 bahan baku hukum, yaitu hukum internasional (Barat-Belanda), hukum Islam, dan hukum adat. Ketiga bahan baku inilah yang seharusnya diolah atau dirumuskan kembali secara akademik sehingga mampu menghasilkan hukum nasional produk Indonesia yang khas.[11]

Pengaturan Agama di Ranah Publik
Pengaturan agama di ranah publik dalam konteks Indonesia telah dijamin dan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1:
“Setiap warga Negara diberi kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan serta menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing”
Hazairin, guru besar Hukum Adat Fakultas Hukum UI, memberikan enam arti kepada pasal 29 ayat 1 ini, di mana tiga diantaranya menyangkut keberlakuan hukum-hukum agama termasuk syariat Islam. Pertama, bahwa di dalam Negara RI tidak boleh ada suatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat Islam. Kedua, bahwa Negara RI wajib melaksanakan syariat-syariat agama: syariat Islam bagi umat Islam, syariat Nasrani bagi umat Nasrani dan syariat Hindu bagi umat Hindu, sepanjang pelaksanaan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya, karena dapat dilaksanakan sendiri oleh maisng-masing penganut agama, menjadi kewajiban pribadi bagi setiap orang itu yang dijalankannya sendiri sesuai dengan agamanya masing-masing.[12]
Implementasi dari UUD 45 pasal 29 tersebut bisa dilihat sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa seiring adanya hubungan akomodatif antara Islam dan negara, maka kemudian lahir berbagai macam undang-undang dan aturan yang berkaitan dengan pengaturan pelaksanaan ajaran Islam di ranah publik.
Pertama, RUU Pendidikan Nasional. Undang-Undang Pendidikan yang diberlakukan pada Maret 1989 mengakui secara tegas peran pengajaran agama di semua tingkat pendidikan. Lebih dari itu, pasal 28 ayat 2 menggariskan bahwa guru agama harus menganut agama yang diajarkan dan yang dianut oleh siswa yang mengikuti pelajaran tersebut. Dan pada puncaknya lahir Undang-Undang Sisdiknas pada tahun 2003.
Kedua, RUU Pengadilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989 RUU Pengadilan Agama disahkan dan diundangkan menjadi UU No. 7/1989. Dengan UU tersebut, keberadaan Peradilan Agama semakin kokoh dan mandiri, kekuasaan dan tanggung jawabnya semakin besar. UU tersebut tidak hanya mengatur eksistensi lembaga peradilan agama, tetapi juga menjamin kewenangan yang mencakup hak eksekutorialnya.
Ketiga, Kompilasi Hukum Islam. Pada bulan Maret 1985 ditandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI dengan tujuan menyusun tiga rancangan buku hukum untuk menjadi pegangan yang seragam bagi para hakim agama di seluruh tanah air. Pada bulan Desember 1987, proyek ini telah berhasil menyusun tiga rancangan buku yang terdiri dari: Buku I mengenai perkawinan; Buku II mengenai pembagian warisan; dan Buku III mengenai pengelolaan wakaf, infak, dan sedekah. Pengesahan KHI ini sendiri terjadi pada tahun 1991 dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 dan keputusan menteri agama No. 154/1991 tanggal 22 juli 1991. Dengan selesainya UUPA dan KHI, pengadilan agama menjadi lembaga yang secara formal kuat, dan secara material memiliki buku rujukan yang standar. Di samping itu, karena memiliki buku yang standar, pengadilan agama berarti telah memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Keempat, Kebijakan tentang Jilbab. Pada awalnya jilbab termasuk masalah sensitif dalam kaitan antara Islam dan negara. Hal ini berkaitan dengan SK Departemen P & K pada tahun 1982 No. 052/C/Kep/D/1982 yang berisi larangan bagi siswi muslimah di sekolah umum mengenakan jilbab selama jam sekolah, karena hal itu dianggap melanggar peraturan tentang seragam sekolah. Namun, pada akhirnya, tepatnya tahun 1991, pemerintah melalui Dirjen Dikdasmen mengeluarkan peraturan baru, yakni SK Nomor 100/C/Kep/D/1991 yang membolehkan para siswi Muslimah mengenakan jilbab di lembaga pendidikan menengah umum.
Kelima, pada tahun 1968 Departemen Agama mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 4/Juli 1968 tentang pembentukan Bazis, dan nomor 5/Oktober 1968 tentang Baitul Mal. Selajutnya pada tahun 1991 Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan SKB mengenai Bazis, sebuah badan resmi yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, infak, dan sedekah.
Keenam, Bank Muamalat Indonesia. Berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun 1991, sejak awal didorong oleh motivasi agama dan ekonomi. Pembentukan Bank Islam ini pertama kali dating dari MUI, ketika mengadakan lokakarya di Cisarua, Bogor, 19-22 Agustus 1990. Inisiatif ini kemudian dimatangkan dalam Musyawarah Nasional MUI 22-24 Agustus 1991.[13]
Dari penjelasan di atas, Nampak sekali pengaturan agama di ranah publik dalam konteks Islam sangat diperhatikan oleh negara. Pengaturan-pengaturan itu meliputi aspek pendidikan, hukum, muamalah, dan sebagainya. Bahkan kalau kita lihat sekarang persoalan ibadah pun diatur oleh pemerintah (Kementerian Agama), misalnya Haji.

Problematika Penerapan Syariah
Dewasa ini, perbincangan mengenai penerapan syariah dalam konteks Indonesia semakin ramai. Namun sampai sekarang belum menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini dikarenakan banyak kendala yang harus diselesaikan. Apa kendala besar dalam menegakkan syariat Islam di Indonesia? Menurut Topo Santoso, kendala yang dihadapi dalam penerapan syariat meliputi kendala yuridis, filosofis, sosiologis, ilmiah, politis, dan fikrah (pemikiran).[14]
Pada aspek fikrah (pemikiran) misalnya, beliau menjelaskan bahwa ada dua kendala berat dari aspek ini. Pertama, masih banyaknya umat Islam yang anti, segan, atau takut dengan penerapan syariat Islam. Kedua, belum padunya umat Islam untuk menegakkan syariat Islam.
Menurut Azyumardi Azra, penerapan syariat Islam menghadapi masalah yang sangat kompleks di dalam masyarakat. Kompleksitas itu, antara lain, terletak pada realitas sosiologis masyarakat muslim yang bersangkutan. Selain itu, masalah lain juga terletak pada kenyataan adanya konflik antara hukum syariat (Islam) dan hukum nasional dalam segi tertentu. Dan yang tak kurang krusialnya adalah kerumitan dalam system hukum syariat (Islam) itu sendiri. Ia mengutip pandangan Bassam Tibi bahwa aspirasi atau keinginan sebagian umat Islam untuk menerapkan syariat tidak disertai dengan prakondisi penting, yaitu bagaimana membuat syariat lebih fleksibel sehingga dapat menampung apa yang disebut sebagai cultural accommondation of change.[15]
Mengenai penciptaan pra kondisi untuk menegakkan syariat Islam. Topo Santoso memberikan penjelasan setidaknya ada empat pra kondisi yang harus diciptakan. Pertama, pencegahan dari aspek akidah atau iman karena keimanan membuat seseorang merasa terawasi oleh Tuhannya. Sehingga ia mampu melakukan self control terhadap apa yang akan dilakukan. Kedua, pencegahan dari aspek ibadah. Ibadah-ibadah yang diwajibkan oleh agama, jika dilakukan dengan baik akan berdampak positif bagi pelakunya. Ketiga, pencegahan dari segi keadilan sosial. Dalam arti, setiap warga Negara telah diberi kesempatan yang mudah untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang halal dan tertutup di hadapannya kesempatan untuk berbuat yang tidak halal. Keempat, pencegahan dari segi amar makruf nahi mungkar yang seharusnya menjadi budaya di kalangan masyarakat muslim, karena ia merupakan titik sentral dari semua ajaran agama.[16]

Penutup
Kajian tentang pemikiran hukum Islam ini akan senatiasa berkembang seiring dengan perkembangan socio-cultural masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, perumusan ulang (reaktualisasi dan rekonstruksi) terhadap hukum Islam akan senantiasa dibutuhkan. Hal ini dikarena sifat ajaran Islam itu sendiri yang shalih li kulli zaman wa makan. Persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat pada masing-masing kondisi, situasi, waktu dan tempat berbeda-beda. Sehingga cara mencari solusinya juga harus disesuaikan dengan tetap menjadikan pemikiran atau dasar-dasar hukum yang sudah ada sebagai acuan.
Dalam konteks Indonesia, upaya-upaya tersebut sudah berkembang. Perumusan kembali hukum Islam agar sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sudah banyak dilakukan oleh para tokoh Muslim, bahkan dalam praktiknya juga mendapat dukungan dari Negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Undang-Undang atau kebijakan-kebijakan yang mengatur urusan agama di ranah publik. Ini mengandung arti bahwa hukum Islam secara substansi sudah terealisasi dan hukum Islam juga sudah menjadi bagian dari hukum nasioal pada hal-hal tertentu.
Namun, masih ada satu hal yang masih menjadi persoalan dilematis, yaitu tentang penerapan hukum hudud. Apakah hukum hudud (rajam, qishash) harus diterapkan seperti yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an dan apa yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah? Ataukah penerapan itu bisa dilakukan dengan mengambil ruh atau maksud dari adanya syariat itu? Kiranya Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus dipecahkan oleh para cendekiawan, ulama dan semua pihak yang memiliki perhatian terhadap hukum Islam.
Demikianlah apa yang dapat kami sajikan dalam tulisan ini. Tentu saja makalah ini belum representatif mengenai persoalan ini dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, diskusi (sharing), saran, dan kritik konstruktif adalah keniscayaan guna perbaikan di masa datang dan sekaligus untuk kesempurnaan ilmu itu sendiri. Akhirnya kami tutup kajian ini dengan ucapan mohon maaf dan terima kasih.

Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul. 2007. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books
Azizy, A.Qodri. 2004. Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam & Hukum       Umum. Bandung: Teraju Mizan.
Hidayat, Komaruddin, Ahmad Gaus (Ed). 2005. Islam, Negara & Civil Society.     Jakarta: Paramadina.
Nata, Abuddin. (2009). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani     Press.
Tanthowi, Pramono U. 2005. Kebangkitan Politik Kaum Santri. Jakarta: PSAP.




[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 298-299
[2] A. Qodri Azizy, Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum (Bandung: Teraju Mizan, 2004), hal. 21-37
[3] Lihat Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri (Jakarta: PSAP, 2005), hal. 28
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 29
[6] Ibid
[7] Lebih lengkapnya lihat Ibid, hal. 86-104
[8] Komaruddin hidayat & Ahmad Gauf (Ed), Islam, Negara & Society (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 48
[9] Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: RM Books, 2007), hal. 14
[10] Ibid
[11] Baca buku Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum karya Prof. A. Qodri Azizy, Ph.D
[12] Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hal. 33-34 dikutip Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: RM Books, 2007), hal. 14-15
[13] Lihat Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri (Jakarta: PSAP, 2005), hal. 86-104
[14] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal. 160
[15] Komaruddin hidayat & Ahmad Gauf (Ed), Islam, Negara & Society (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 50
[16] Opcit, hal. 96-97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar