Entri Populer

Rabu, 11 Januari 2012

FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM


FILSAFAT PENDIDIKAN (ISLAM) DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PI/PAI
Oleh: Erik Budianto
Dewasa ini problem-problem moral dan etika manusia semakin menggejala dan masih sukar tuk dipecahkan. Ini adalah sebuah fenomena yang paradoks. Mengingat saat ini menjamur institusi-institusi pendidikan. Pendidikan yang dijadikan harapan dan tumpuan untuk menjadikan kehidupan yang lebih baik ternyata masih belum berperan secara maksimal. Bahkan ditengarai pendidikan makin jauh dari makna etis pendidikan. Pendidikan yang dalam kampenyenya selalu mengklaim dirinya sebagai agen kemanusiaan, tetapi dalam prakteknya pendidikan terkadang menjadi agen dehumanisasi.
Bila setiap pengelola dan pelaksana pendidikan memahami tugas dan fungsi pendidikan seharusnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan tidak mesti terjadi. Secara sederhana bisa penulis sebutkan bahwa tugas dan fungsi pokok pendidikan ada 2. Pertama, pendidikan adalah proses pengembangan potensi. Oleh karena itu, segala proses pendidikan harus mengarah pada pengembangan potensi peserta didik. Peserta didik harus diberi ruang dan kesempatan untuk berkreasi dan berinovasi sesuai dengan potensi dasarnya. Pendidikan tidak boleh membelenggu apalagi memasung daya kreatifitas anak. Kedua, pendidikan adalah proses pewarisan dan pelestarian budaya. Nilai-nilai luhur yang ada pada generasi sebelumnya harus diwariskan pada anak tanpa mengabaikan nilai-nilai yang selaras dengan perkembangan zaman di mana anak itu hidup. Kedua fungsi tersebut tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus berjalan seiring dan seirama.
Dalam rangka mewujudkan kedua fungsi tersebut, pendidikan harus dirumuskan dengan baik dan ideal. Untuk merumuskan pendidikan yang baik dan ideal, salah satu pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan filosofis. Filsafat adalah hal paling mendasar dalam hidup. Oleh karena itu, filsafat selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Dari pemaparan di atas, tulisan ini bertujuan membincang kegunaan filsafat, khususnya filsafat pendidikan Islam dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum merupakan salah satu faktor terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, kurikulum harus dirancang dan disusun secara ideal agar pendidikan berjalan secara efektif dan efisien.
Pembahasan dalam tulisan ini meliputi pertama, hakikat filsafat pendidikan Islam. kedua, urgensi filsafat pendidikan Islam. Ketiga, madzhab-madzhab filsafat pendidikan (pendidikan Islam) serta implikasi dalam pengembangan kurikulumnya.
a.    Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Pada dasarnya tradisi filsafat berasal dari tradisi Yunani yang diadopsi oleh masyarakat Islam. Hal ini Nampak pada aspek etimologis dari kata filsafat. Mayoritas ahli menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari Yunani, philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Jadi filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan (pengetahuan). Meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab. Pandangan ini disampaikan oleh Harun Nasution, menurutnya kata filsafat memiliki wazan (pola) fa’lala, fa’lalah, dan fi’lal. Dengan demikian, kata benda falsafa adalah falsafah dan filsaf.
Secara historis, masuknya tradisi filsafat ke dalam kehidupan umat Islam adalah pada saat terjadi gelombang penerjemahan kitab-kitab Yunani pada masa khalifah Al-Makmun. Penerjemahan tersebut selanjutnya mendorong lahirnya tradisi keilmuan di kalangan umat Islam, sehingga pada masa itu Islam mengalami masa kegemilangan dalam bidang keilmuan (golden age).
Pengertian terhadap filsafat sangat beraneka ragam. Tetapi pengertian yang representatif diberikan oleh Sidi  Gazalba sebagaimana yang dikutip Toto Suharto, bahwa filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, atau hakikat mengenai segala yang ada.[1]
Pemaduan filsafat dan pendidikan Islam selanjutnya melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri, yakni filsafat pendidikan Islam. Menurut Marimba, ketiga kata tersebut sudah menjadi satu kesatuan yang saling sifat mensifati. Sehingga yang dimaksud filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang bercorak Islam.[2]
Dalam pandangan Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran agama Islam, tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba Allah yang berkepribadian demikian. Sarana dan upaya apa sajakah yang dapat mengantarkan pencapaian cita-cita demikian dan sebagainya. [3]
b.   Urgensi Filsafat Pendidikan Islam
Mengelola suatu lembaga pendidikan bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi yang dimaksud mengelola tidak sekedar dalam pengertian “mempertahankan” yang sudah ada, tetapi melakukan pengembangan secara sistematik dan sistemik, yang mengikuti aspek ideologis (visi dan misi), kelembagaan dan langkah operasionalnya serta mencerminkan pertumbuhan (growth), perubahan (change) dan pembaruan (reform).[4]
Dalam upaya pembaharuan pendidikan Islam, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain: Pertama, perlu adanya pemikiran kembali tentang konsep pendidikan Islam yang ideal, yaitu pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya yang kuat; Kedua, adanya kejelasan cita-cita; Ketiga, memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya; Keempat, perbaikan manajemen; Kelima, peningkatan mutu sumber daya manusia.[5]
Pengelola pendidikan dituntut memiliki kedalaman normatif dan ketajaman visi. Yang pertama, dibutuhkan agar pengelola pendidikan dapat mendiskripsikan secara mendasar dan mendalam tentang manusia yang ingin dihasilkan. Sedangkan ketajaman visi dibutuhkan agar pendidikan selalu dapat berkesinambungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan, sehingga manusia yang dihasilkan dari pendidikan adalah model manusia yang mempunyai kesiapan dalam menghadapi tantangan masa depan.[6] Untuk mewujudkan itu semua, maka pendidikan Islam sangat memerlukan atau menggunakan berbagai pendekatan, salah satunya pendekatan filsafat.
Rumusan sistem pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan Islam. Menurut Abdrahman Salih, perumusan sistem pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak. Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan non-muslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha mengangkat pesan besar Ilahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini berasal dari Al-Qur’an dan Hadits.[7] Hal ini mengindikasikan adanya upaya memadukan kebenaran yang dihasilkan oleh wahyu (agama) dan filsafat (science).
Menurut Ahmad Tafsir, salah satu kegunaan filsafat adalah sebagai methodology, maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam memandang dunia (world view). Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ingin mencari asal masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan yang seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.[8]
Dalam konteks pendidikan Islam, filsafat sangat membantu dalam merumuskan aspek-aspek kependidikan Islam. Filsafat sebagai induk ilmu dan bagan konseptual kebudayaan akan merupakan basis intelektual bagi penyusunan konsep pendidikan dan juga penyelenggaraan proses belajar mengajar.[9] Menurut Maksum, pendekatan filsafat dapat mengungkap persoalan-persoalan tentang hakikat Tuhan, hakikat manusia, tujuan pendidikan, apakah tujuan itu bersifat tetap atau berubah, mengapa tujuan itu harus begitu, apa latar belakang atau asumsinya, bagaimana mencapai tujuan itu, sampai kapan proses pendidikan itu harus berlangsung, apa instrumennya, siapa saja yang dilibatkan dan mengapa, seberapa jauh pelibatan masing-masing personal tersebut. Dengan demikian filsafat pendidikan Islam berfungsi menjadi pedoman dan arah berpikir dalam mencapai hasil pendidikan yang dicita-citakan.[10]
Sementara menurut Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan Islam seharusnya bertugas dalam 3 dimensi, yaitu: Pertama, memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan pada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Kedua, melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut. Ketiga, melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.[11]
Demikianlah urgensi filsafat pendidikan Islam dalam upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam sekaligus menjadi kompas yang membantu mengarahkan ke arah mana pendidikan Islam akan dibawa.

c.    Madzhab-madzhab Filsafat Pendidikan[12]
1)   Filsafat Pendidikan Idealisme
Tokoh pencetus pertama filsafat idealisme adalah Plato. Idealisme dalam filsafat adalah aliran pemikiran filsafat yang kental dengan corak metafisik. Idealisme memandang bahwa realitas itu tidak lain adalah ide-ide, akal, pikiran, atau jiwa, bukan benda-benda material ataupun kekuasaan.
Menurut para filsuf idealisme, pendidikan bertujuan membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi siswa. Karena bakat manusia berbeda-beda, pendidikan yang diberikan kepada setiap orang harus sesuai dengan bakatnya masing-masing. Kurikulum pendidikan idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional atau praktis. Pendidikan liberal yang dimaksud adalah dalam rangka mengembangkan kemampuan rasional dan moral. Sedangkan pendidikan vokasional dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan suatu kehidupan atau pekerjaan. Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme lebih memfokuskan pada isi yang obyektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook agar pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
Filsafat pendidikan idealisme memposisikan guru pada kedudukan yang paling strategis. Seorang guru harus memiliki keunggulan intelektual dan moral. Guru harus bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi siswa. Guru berfungsi sebagai personifikasi kenyataan si anak didik. Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar. Sedangkan siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya.
2)   Filsafat Pendidikan Realisme
Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John Locke bahwa akal-pikir jiwa manusia tidak lain adalah tabula rasa, ruang kosong tak ubahnya kertas putih kemudian menerima impresi dari lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan dipandang dibutuhkan karena untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi sesuai dengan apa yang dipandang baik.
3)   Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Sehingga dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah.
Selain itu, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari social. Setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan itu kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi social yang ada.
Dalam pendidikan pragmatisme, guru menjadi pendamping subjek didik yang dipandang jauh lebih memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai problem. Ia menjadi pengarah atau pemandu aktivitas-aktivitas subjek didik di luar hal-hal yang dibutuhkan mereka, dengan pertimbangan-pertimbangan dan pengalaman yang lebih luas.
Metode pengajaran pragmatisme lebih menekankan pengalaman sebagai sesuatu yang utama. Oleh karenanya, pengajaran-pengajarannya lebih bersifat tidak formal dan menghindari ke-kaku-an, biasanya dilakukan di luar (out door), di alam terbuka, dan berbagai tempat yang disukai peserta didik.
Dengan demikian, menurut John Dewey dan kalangan pragmatis lainnya, kurikulum tidak boleh dibagi dalam bidang materi yang membatasi dan tidak alamiah. Kurikulum harus dibangun atas dasar unit-unit alamiah, tidak menimbulkan persoalan, serta melahirkan pengalaman yang menekan subjek didik.
4)   Filsafat Pendidikan Progresivisme
Teori pendidikan progresivisme secara umum dipengaruhi filsafat pragmatisme, khususnya pemikiran yang dilahirkan John Dewey. Aliran ini tidak pernah menjadi sistem pemikiran yang sistematis dan konsisten, tetapi lebih banyak terpusat pada eksperimentasi-eksperimentasi yang berdasarkan investigasi-investigasi ilmiah sains modern.
Meskipun demikian, progesivisme selalu menentang cara-cara pendidikan tradisional yang selalu menempatkan guru sebagai subjek dan peserta didik sebagai objek, pola pengajaran yang bertumpu pada metode textbook, serta proses pendidikan yang bersifat pasif.
5)   Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, terbuka pada perubahan, toleran, dan tidak ada terkait dengan doktrin tertentu. Aliran ini memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.  Dengan kata lain, aliran ini memandang bahwa nilai-nilai itu bersifat konstan, tidak bisa berubah, kekal, dan akan selalu abadi.
Esensialisme memandang bahwa kurikulum hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Dengan demikian, tugas pendidikan adalah mengajarkan pengetahuan dasar dan keterampilan-keterampilan dasar yang berkaitan dengan pemerolehan materi dalam hidup. Dalam praktiknya, para esensialisme cenderung menekankan sesuatu yang dikenal dengan 3R (reading, writing, dan aritmetic).
Peran guru di kalangan esensialis sangat berbeda dengan di kalangan progesif yang sama sekali tidak otoritatif bahkan hanya menjadi fasilitator, sebaliknya berupaya untuk kembali menjadi otoritatif. Oleh karena itu, sikap-sikap yang ditanamkan adalah menanamkan rasa hormat terhadap otoritas, ketekunan, tugas, pertimbangan, dan kepraktisan.
6)   Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi dan solusi terhadap pendidikan progesif dan atas terjadinya suatu keadaan yang mereka sebut sebagai krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Perenialisme menentang pandangan progesivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno, dan abad pertengahan.
Untuk itulah, pendidikan sekarang harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiaannya kepada kebudayaan masa lampau yang ideal serta telah teruji dan tangguh. Dengan kata lain, perenialisme memiliki pandangan yang bertolak (anti) terhadap modernistik yang telah menjauh dari tradisi dan terlalu mengedepankan logika dan rasio modernistik daripada sumber pengetahuan lainnya serta terlalu memandang sesuatu berdasarkan materi (materialistik).
Bagi perenialis, nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
Dalam konteks itu, kurikulum pendidikan bersifat subject centered, berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat seragam, universal dan abadi. Selain itu, materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai rational content yang lebih besar. Dengan demikian, titik berat kurikulum diletakkan pada pelajaran sastra, matematika, bahasa, dan humaniora, termasuk sejarah (liberal art). Adapun sumber dan cara mempelajari seni liberal tersebut adalah dengan cara mempelajari the greats book.
7)   Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme sangat berhubungan erat dengan pendidikan, karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Pendidikan menurut pandangan eksistensialisme diarahkan untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Pendidikan eksistensialisme berusaha memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
Di sini anak didik disadari sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pendidikan. Kurikulum eksistensialis cenderung bersifat liberal, membawa manusia pada kebebasan manusia. Oleh karena itu, di sekolah harus diajarkan pendidikan social untuk mengajarkan rasa hormat terhadap kebebasan, serta privasi masing-masing individu. Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan, tetapi ditawarkan agar hubungan antara guru dan siswa direalisasikan sebagai suatu dialog.
8)   Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran ini berkeyakinan bahwa tugas penyelematan dunia merupakan tugas semua umat manusia dan bangsa. Oleh karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan manusia.
Aliran ini juga mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Nilai-nilai demokrasi yang sungguh bukan hanya teori, melainkan mesti menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran, serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna ras, suku, nasionalisme, agama, dan masyarakat yang bersangkutan.
9)   Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan filsafat pendidikan yang lainnya. ketika filsafat menjadi satu kesatuan dengan pendidikan Islam, kajian kefilsafatan dalam pendidikan Islam berlandaskan pada pandangan ajaran Islam. Pandangan Islam adalah prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits yang dikembangkan oleh para mujtahid dari waktu ke waktu.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk terwujudnya insan kamil yang memiliki integritas iman, moral, dan amal, adanya kesatuan antara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus menyentuh tiga ranah, yaitu hati (heart), akal (head), life skill (hand). Dan ketiganya harus berjalan secara simultan dan sistemik.
Hal itu senada dengan rumusan tujuan pendidikan Islam pada Kongres Pendidikan Islam Sedunia tahun 1980 di Islamabad bahwa: “Pendidikan harus ditujukan ke arah pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan, dan rasio, perasaan dan panca indera”.[13]
Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integrated dan komprehensif[14], mencakup ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan duniwi dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan ukhrawi kelak. Pendidikan harus memberikan pelayanan kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, seperti aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik, dan sebagainya.

d.   Epilog
Dari pemaparan-pemaparan di atas, dapat diambil benang merah bahwa filsafat pendidikan, khususnya filsafat pendidikan Islam sangat memiliki implikasi yang kuat terhadap model kurikulum yang akan diterapkan dalam suatu lembaga pendidikan. Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang utuh, yang memiliki berbagai macam dimensi, maka kurikulum harus disusun secara integrated, holistik, dan komprehensif.
Dengan berbagai macam aliran filsafat pendidikan, sebenarnya pendidikan Islam lebih diuntungkan. Pada masing-masing aliran tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan metode eklektis, pendidikan Islam bisa mengadopsi gagasan-gagasan pada aliran-aliran tersebut yang dianggap sejalan dengan nilai-nilai Islam, khususnya dalam konteks pendidikan. Wallahu a’lam bi al-shawab

Daftar Pustaka
Arifin, Muzayyin.. Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi). Cet. II. Jakarta:       PT. Bumi Aksara, 2005.
Fajar, A. Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI, 1998.
______________. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan      Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999.
Gandhi, Teguh Wangsa. Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat     Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Maksum dan Luluk Yunan. Paradigma Pendidikan Universal:Di Era        Modern dan Post Modern Yogyakarta: IRCISoD, 2004.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. 1986
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Rosda Karya, 2001.
__________. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam. Jakarta: PT.      RajaGrafindo Persada, 2005.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:       Kencana, 2006.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi     Pengetahuan. Bandung: Rosda Karya, 2006.





[1] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hal. 26
[2] Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), Cet. VI, hal. 10
[3] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 1
[4] A. Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: 1998), hal. 91
[5] A. Malik fajar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia, 1999), hal. 37
[6] A. Malik Fajar, Visi Pembaruan..., hal. 91-92
[7] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), hal.3
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Rosda Karya, 2006), Cet. II, hal. 103-104
[9] Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), Cet. II, hal. 65
[10] Ali Maksum dan Luluk Yunan, Paradigma Pendidikan Universal:Di Era Modern dan Post Modern (Yogyakarta: IRCISoD, 2004), hal. 283-284
[11] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 2
[12] Beberapa aliran filsafat pendidikan tersebut, kecuali filsafat pendidikan Islam, penulis sarikan dari buku Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan karya Teguh Wangsa Gandhi HW
[13] Lihat Muzayyin Arifin, Filsafat…, 119
[14] Muzayyin Arifin, Filsafat…, hal. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar