Entri Populer

Sabtu, 07 Mei 2011

Perkembangan Modern Islam di Turki


Perkembangan Modern Islam di Turki
Oleh: Erik Budianto, S.PdI

Dalam kajian sejarah, khususnya khazanah peradaban Islam, Turki merupakan salah satu bangsa yang menjadi topik kajian yang menarik bagi para sejarawan, khususnya sejarawan muslim. Turki memiliki dinamika historis yang panjang dan keunikan tersendiri, dibandingkan dengan Daulah-Daulah Islam yang lain. Turki menguasai peradaban dunia hampir 6,5 abad lebih, dan pada masa-masa kemunduran atau kejatuhannya, Turki mampu bangkit kembali. Dan sampai sekarang Turki menjadi negara maju dan diperhitungkan dunia internasional.
Hal lain yang menarik dari perkembangan Turki adalah setelah pemerintahan dipegang oleh Mustofa Kemal dengan berubahnya sistem negara kerajaan-Islam menjadi negara republik-sekuler. Meskipun gelombang sekulerisasi digalakkan oleh Mustofa Kemal, namun mayoritas penduduk Turki 99 % adalah muslim sampai sekarang. Ini tentu saja menarik perhatian, bagaimana dan mengapa bisa seperti itu? Mengapa negara sekuler bisa muncul di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Muslim?
Di satu sisi, sekulerisasi menyebabkan peran Islam di ranah publik menjadi terpinggirkan. Namun di sisi yang lain, sekulerisasi Turki menjadikan bangsa tersebut tetap menjadi bangsa yang independen dan bisa melakukan akselerasi dengan perkembangan Eropa (dunia Barat). Dari sini muncul pertanyaan, apakah sistem negara sekuler memang bisa membawa pada kemajuan?
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan mendiskripsikan tentang perkembangan modern Islam di Turki yang meliputi latar belakang dan perkembangannya (penulis mencoba memotret berdasarkan tiga rezim yang pernah berkuasa di Turki, yakni Daulah Usmani, Mustofa Kemal, dan pasca Mustofa Kemal), gerakan-gerakan pemikiran modern Islam, dan unsur-unsur peradaban yang ditawarkan, serta studi kritis terhadap fenomena yang menarik dari perdaban Islam di Turki.

Asal-Usul dan Perkembangan Islam di Turki
Bangsa Turki mulai mengenal Islam sejak akhir abad ke-7 M. Media yang memperkenalkan mereka dengan Islam adalah melalui hubungan dagang oleh bangsa Arab. Selain itu, keberhasilan pasukan Muslim juga memiliki pengaruh terhadap islamisasi penduduk Turki.[1] Masyarakat Turki merupakan masyarakat nomaden (bangsa pengembara). Penguasa pertama pada masyarakat ini adalah dinasti Saljuk.
Islam mengalami perkembangan pesat di Turki pada masa pemerintahan Daulah Usmani. Nama kerajaan ini dinisbahkan pada nama pemimpinnya, yakni Usman. Usman memerdekan diri dari kekuasaan dinasti Saljuk setelah dinasti Saljuk dapat dikalahkan oleh pasukan Mongol yang berakhir dengan meninggalnya sultan Saljuk. Bekas wilayah saljuk dijadikan basis kekuasaannya dan para penguasa Saljuk yang selamat dari pembantaian Mongol mengangkatnya sebagai pemimpin pada tahun 1300 M. Maka, berdirilah kerajaan Usmaniyah yang dipimpin oleh Usman yang bergelar Padisyah Alu Usman (Raja dari keluarga Usman).[2]
Raja-raja Turki Usmani bergelar Sultan dan khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi dan khalifah berkuasa di bidang agama atau spiritual (ukhrawi). Sultan-sultan Daulah Usmani dapat diklasifikasikan menjadi lima periode, yaitu: Periode pertama  dimulai sejak kepemimpinan Usman-Bayazid I (1299 M -1402 M). Periode ini dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan Timur. Periode kedua dimulai pada masa kepemimpinan Muhammad I - Sulaiman I Qanuni (1402 M-1566 M). Periode ini ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Peride ketiga dimulai pada masa kepemimpinan Salim II - Mustafa II (1566 M - 1699 M). Periode ini ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan wilayahnya sampai lepasnya Hungaria. Namun, kemunduran segera terjadi. Periode keempat dimulai pada masa kepemimpinan Ahmad III - Mahmud II (1699 M – 1839 M). Periode ini ditandai dengan secara berangsur-angsur surutya kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah di tangan para penguasa wilayah.  Periode kelima Abdul Majid I - Abdul Majid II (1839-1922). Periode ini ditandai dengan kebangkitan kultural dan administratif dari Negara di bawah pengaruh ide-ide Barat.[3]
Kaitan dinasti Usmani dengan tradisi Islam bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, penggunaan gelar penguasa. Gelar bagi penguasa Usmani adalah padisyah atau sultan. Gelar ini identik dengan tradisi kerajaan Persia. Akan tetapi, ia juga ahli waris tradisi Islam, dan dapat mengklaim sebagai pelaksana otoritas yang absah dalam terma-terma Islam. Klaim ganda ini tampak pada gelar yang digunakan dalam dokumen-dokumen resmi.[4] Dinasti Usmaniyah terkadang menggunakan gelar khalifah, tetapi gelar tersebut tidak membawa klaim apapun bagi otoritas universal atau eksklusif seperti klaim para khalifah terdahulu. Gelar khalifah bagi penguasa Usmani mengandung arti bahwa sang sultan lebih dari sekedar penguasa lokal, dan menggunakan kekuasaannya untuk tujuan yang diridhai agama. Adakalanya, para penulis Usmani mengklaim bahwa sang sultan menempati kedudukan utama di dunia Islam, dan merupakan “khalifah yang agung”.
Kedua, Penjagaan wilayah Islam. Dinasti Usmani mempertahankan perbatasan Islam dan sedapat mungkin memperluas wilayahnya. Mereka dihadapkan pada ancaman dari pelbagai arah. Di wilayah Timur berdiri dinasti Shafawi (Iran) dan pada bagian lain berdiri kekuasaan-kekuasaan Eropa (Kristen).
Ketiga, penjagaan dan pengawalan kota-kota suci. Makkah dan Madinah di Hijaz, Jerusalem dan Hebron di Palestina. Sebagai penguasa Makkah dan Madinah, sang sultan memiliki gelar kebanggaan sebagai Pelayan Dua Kota Suci. Ia juga memegang kendali atas rute-rute utama yang dilalui oleh para jamaah haji. Fungsi utamanya adalah mengorganisasi dan memimpin ibadah haji.
Keempat, pemeliharaan syariat. Tugas paling utama seorang penguasa muslim adalah memelihara syariat. Pada periode Usmani, lembaga-lembaga yang berfungsi memelihara syariat makin ditarik lebih dekat dengan penguasa dari pada sebelumnya.[5] Bahkan para ulama diberikan jabatan yang strategis di pemerintahan.
Meski akhirnya jatuh, yang jelas Usmani telah banyak memberi sumbangan kepada dunia Islam. Usmani merupakan kekhalifahan Islam yang paling berhasil menjaga politik Islam, dan paling akhir bertahan dari serangan peradaban Barat ke dunia Islam. Di kalangan negara-negara Eropa kekuatan Islam pernah dikenal dan disegani karena andil Usmani di masa kejayaannya.
Setelah Daulah Usmani jatuh, Turki dipimpin oleh Mustofa Kemal Attaturk. Pada periode ini peran Islam mulai tersingkir dari ranah publik. Setelah kekuasaan Daulah Usmani mulai runtuh, bibit-bibit gerakan nasionalisme mulai muncul di kalangan generasi intelektual muda yang diawali dengan adanya gerakan Tanzimat[6]. Semenjak tahun 1860 M, kalangan intelektual yang merupakan produk tanzimat mulai mengemukakan pendapatnya melalui gerakan Usmani Muda. Mereka berkeyakinan  bahwa kerajaan Turki hanya akan dapat dipertahankan bila mau mengadopsi peradaban Eropa tanpa perubahan dari sisi struktur.
Tokoh utama gerakan nasionalisme Turki adalah Mustafa Kemal. Tetapi, ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan ideologi nasionalisme Turki. Mustafa Kemal sendiri mendapatkan inspirasi dari para tokoh Usmani Muda dan Turki Muda yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan oleh sultan Hamid II. Di antara pemikir Turki yang meletakkan dasar semangat nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933) dan Zia Gokalp (1875-1924).
Kebijakan rezim Kemalis yang paling penting adalah revolusi Kultural. Mustafa kemal berusaha memasukkan massa ke dalam frame work ideologis dan kultural rezim Republik, merenggangkan keterikatan masyarakat umum terhadap Islam. Rezim Kemalis menghapuskan sejumlah lembaga organisasi Islam. Kesultanan Usmani dihapuskan pada tahun 1923, sedang khalifah dihapuskan pada tahun 1924. Lembaga wakaf dan ulama dikuasakan kepada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 beberapa thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang (ilegal) dan dihancurkan. Pada tahun 1927 pemakaian turbis dilarang. Pada tahun 1928 diberlakukan tulisan latin menggantikan tulisan Arab, dan mulai dilancarkan upaya memurnikan bahasa Turki dari muatan bahasa Arab dan Persi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana yang berlaku dengan pola nama Barat. Dalam rentangan abad ini diberlakukan kitab hukum keluarga yang didasarkan pada kitab hukum Swiss menggantikan hukum syariah. Demikianlah, Islam telah dilepaskan dan diasingkan perannya dalam kehidupan masyarakat dan simbol-simbol ketergantungan bangsa Turki terhadap kultur tradisional digantikan dengan sistem hukum, kebahasaan, dan beberapa sistem identitas modern lainnya.[7]
Mustafa Kemal meninggal dunia pada tanggal 10 November 1938, setelah tiga kali menjabat sebagai presiden Republik Turki, yaitu pada tahun1927, 1931 dan 1935. Mustafa Kemal diakui berhasil menciptakan sistem pemerintahan parlementer dan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kehidupan demokratisasi di Turki.
Islam kembali memiliki peran di ranah publik pasca rezim kemalis jatuh. Rezim Kemalis dilanjutkan oleh koleganya yang sangat setia kepadanya, Ismet Inonu. Namun periode antara kematian Kemal dan akhir masa pemerintahan Inonu membuka jalan bagi sistem politik yang baru. Partai-partai politik mulai bermunculan, salah satunya adalah partai demokrat yang dipimpin oleh Jelal Bayar dan Adnan Menderes. Partai  inilah yang mengusung ide orientasi politik dan kebijakan keagamaan yang baru di Turki. Partai ini berjuang untuk mengahapuskan berbagai pembatasan dalam praktik keagamaan Islam.
Ketika partai ini berkuasa, pendidikan agama mulai diberikan di sekolah-sekolah dan masjid mendapat subsidi dari negara. Namun, thariqat sufi tetap mendapatkan tekanan dan lembaga-lembaga wakaf yang telah dihapus oleh rezim Kemalis belum dibentuk kembali. Nampaknya, partai demokrat masih memegang dogma Kemalis bahwasanya hanya dengan sekulerisasi, masyarakat Turki dapat menjadi sebuah Negara modern. Meskipun demikian, partai ini masih sangat toleran terhadap Islam. Pada tahun 1960, rezim partai demokrat dapat digulingkan oleh kubu militer (pro Barat dan Kemalis). Aspek kebangkitan Islam lainnya diwakili oleh The National Salvation Party (1960). Partai ini bukan hanya partai agama melainkan juga bermaksud mendirikan kembali sebuah Negara Islam di Turki.
Perkembangan masyarakat di Turki menemukan karakter sendiri yang unik sebagai suatu bentuk pertentangan yang rumit antara pemikiran Kemalisme, yang fundamental dan radikal, pemikiran liberalis yang meskipun menentang Kemalisme tetapi tidak ingin ideologi ini diganti, dan pemikiran Islam, baik yang konservatif maupun moderat. Semangat masyarakat Turki modern untuk menjadi suatu bangsa yang modern dan demokratis, selalu disertai dengan kesadaran yang mendalam tentang watak dan idealisme ke-Turki-an dan ke-Islam-an. Penulis melihat bahwa gagasan sintesa tentang Islam, Turki dan Barat yang pernah dimunculkan oleh Ziya Gokalp (Bapak naasionalis Turki) mulai terimplementasikan dengan wajar dan alami, sedangkan Kemalisme dijadikan ideologi negara yang keberadaannya sangat dijaga oleh kekuatan militer Turki.
Militer Turki mengambil peran sebagai penjaga ideologi Kemalisme sebagai prinsip negara. Jatuhnya pemerintahan Partai Islam Refah pada tahun 1998 adalah suatu bukti masih dominannya pengaruh politik militer di Turki. Namun kebangkitan Islam, baik itu suatu fenomena kesadaran umat Islam Turki untuk kembali mempelajari nilai-nilai Islam di tengah kebijakan sekuler pemerintah dan fenomena dukungan masyarakat Islam terhadap kemenangan partai politik yang dianggap membawa aspirasi Islam terus memperlihatkan kemajuan ke arah yang positif. Aspirasi dan dukungan yang besar dari masyarakat Turki kembali mengantarkan kemenangan partai berbasis Islam: Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP) dalam pemilu 2002. Meskipun secara tegas pemimpin partai ini menyatakan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan bukanlah partai Islam dan mereka menyatakan komitmennya yang sungguh-sungguh menjaga ideologi sekularisme di Turki, nampaknya Rakyat Turki lebih melihat mereka sebagai sosok-sosok muslim yang shaleh yang diharapkan dapat membawa Turki ke arah yang lebih maju.
Gerakan-Gerakan Pemikiran Modern Islam
Sebagaimana keterangan-keterangan sebelumnya bahwa Turki sangat menonjol dalam urusan politik dan kekuasaan. Namun, dalam hal pemikiran dan pengembangan keilmuan, di Turki sangat minim. Dalam lapangan ilmu pengetahuan secara orisinil memang sedikit sekali muncul ilmuan besar. Akan tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Beberapa ilmuan yang dapat diidentifikasi di antaranya adalah:
1)   Haji Kholifa, nama lengkapnya Mustafa ibn Abdullah (w. 1658 M), seorang berpengatahuan luas, prajurit yang berani, dan pengarang yang cakap. Kitab karangannya banyak mengenai sejarah, ilmu bumi, sejarah hidup, dan soal-soal lain. Di antaranya:
a.    Kasyf al-Dzunūn, kamus yang memuat kira-kira 14.500 buah nama kitab dalam bahasa Arab yang disusun menurut abjad.
b.   Taqwīm al-Tawārīkh
c.    Tuhfat al-Kibar fi Asfar al-Bihār, tentang armada Daulah Usmaniyah
d.   Mīzān al-Haq fi Ikhtiyār al-Haq, tentang tasawuf.[8]
2)   Daud Inthaqy, nama lengkapnya Daud ibn Umar al-Inthaqy al-Dharif (w. 1598 M), dokter yang terkenal pada zamannya, seorang pengarang ilmu dalam bidangnya. Di antara karangannya adalah:
a.    Tadzkirah Uli al-Albab wa al-Jumu‛u li al- Ujb al-Ujab, tentang ilmu kedokteran sebanyak tiga jilid
b.   An-Nuzhatu al-Mubhiyah fi Tasyhiz al-Azhan wa Ta’dil al-Amzijah, juga tentang kedokteran.[9]
Namun dalam bidang seni, syair dan arsitektur Daulah Usmaniyah mempunyai jasa yang tidak kecil. Dalam bidang seni bersyair hampir semua sultan Turki mempunyai minat yang besar. Atas pengaruh Jalaluddin Rumi, seni bersyair berkembang di dunia Islam, khususnya di Turki pada masa Daulah Usmaniyah. Penyair-penyair ternama di Turki di antaranya; Sultan Walid putra Jalaluddin Rumi, Yazzi Oghlu sangat ternama karena syairnya tentang sejarah hidup Nabi Muhammad, Syekh Zada (w. 1451 M) telah mengarangkan “Sejarah Empat Puluh Menteri” yang dipersembahkan kepada sultan Murad II, Zati (1471-1546 M) yang berhasil membuat karangan syair berjumlah 3000 syair bebas, 500 kasidah dan 1000 syair berbaris empat. Pada periode berikutnya terus bermunculan penyair-penyair hebat, sampai pada masa sultan Usmaniyah yang terakhir, Sultan Abd al- Mazid II, yang digulingkan oleh Mustafa Kemal pada tahun 1924, termasuk ahli syair yang banyak meninggalkan karangan-karangannya.[10]
Dalam bidang arsitektur, Daulah Usmaniyah mempunyai madzhab tersendiri yang disebut gaya/style Usmaniyah. Gaya ini muncul ketika Usmaniyah dapat mengalahkan kerajaan Byzantium. Pertemuan arsitektur Byzantium dan Turki Usmaniyah itu telah melahirkan suatu gaya yang baru. Perwujudannya dalam bentuk Qubah setengah lingkaran seperti pada bentuk Qubah masjid Istiqlal di Indonesia. Sejak saat itu bermunculanlah masjid baru dengan style Usmani, yang termegah adalah masjid Aya Sophia. Sultan Sulaiman, sultan Turki yang terbesar dan mendapatkan tambahan nama “Yang Agung”, pada masanya mendirikan masjid yang tidak kalah bagusnya dengan masjid Aya Sophia, ialah masjid Sulaiman. Selain itu ia masih mendirikan 52 buah masjid yang lebih kecil, 55 buah madrasah tempat mempelajari agama, 7 buah asrama besar untuk mempelajari al-Qur’an, 5 buah taqiyah tempat memberi makan fakir miskin, 5 buah rumah sakit, 7 buah mushalla, 33 buah istana, 18 buah rumah pesanggrahan, dan 5 buah museum. Semuanya mempergunakan arsitektur gaya Usmaniyah dengan pengaruh seorang ahli bangunan Turki yang terkenal, Sinan Pasha. Dia juga ahli khat yang menghiasi masjid-masjid dan seorang penulis prosa yang penting dan dinamakan “Taazuraat”[11]
Selain itu, pada perkembangan Turki modern, ada beberapa kelompok yang aktif bergerak dalam bidang penerbitan. Di mana tujuan dari gerakan ini adalah tersebarnya gagasan atau ide-ide mereka kepada masyarakat luas melalui media cetak. Menurut Amin Abdullah, kelompok ini terdiri dari kelompok tarekat dan kelompok fundamentalis. Kelompok tarekat Naksabandiah adalah kelompok yang masih mempunyai basis yang sangat kuat di Turki, terutama diwilayah Anatolia. Pengikut kelompok ini sangat taat kepada syeikh, dan ketaatan ini akhirnya membentuk perkumpulan politik. Secara formal organisatoris, mereka memang tidak ada. Tapi mereka menyembul dalam usaha penerbitan. Ide-ide mereka terpancar dalam tulisan-tulisan yang dimuat dalam penerbitan mereka, di antaranya; Islam, Ilim ve Sanat (Ilmu Pengetahuan dan Kesenian), Kadin ve Aile (Wanita dan Keluarga), Mektub (Surat), Cocuk (Anak), dan  Altinoluk (Nama pancuran atap Ka’bah).[12]
Berbeda dengan kelompok tarekat, kelompok fundamentalis menolak seluruh elemen tradisi yang tidak islami. Qur’an dan Hadits adalah sumber utama acuan pemikiran ke-Islaman mereka. Perubahan hidup individu dan masyarakat adalah tujuan utama mereka. Kelompok fundamentalis lebih senang menyebut diri mereka sebagai Muslim dan tidak mengidentifikasikan diri mereka dengan kelompok Muslim tertentu. Meskipun begitu, mereka juga mempunyai beberapa penerbitan sebagai sarana tukar informasi dan penyebaran ide-ide. Di antaranya adalah Iktibas (Kutipan), Girisim (Upaya/Mujahadah), Mekteb (Sekolah), Yazi (Tulisan), Sahedet (Kesaksian), Aylik Dergi (Majalah Bulanan).[13]
Unsur-Unsur Pembaharuan Peradaban yang Ditawarkan
Sebagai bangsa yang letak geografisnya berada pada persimpangan Benua Eropa dan Asia, Turki mampu beradaptasi dengan peradaban dan kebudayaan yang ada disekitarnya. Peradaban Islam yang dibangun di Turki merupakan perpaduan berbagai macam peradaban. Meminjam istilah Komaruddin Hidayat, peradaban Islam Turki bisa disebut sebagai peradaban Hibrida.[14]
Unsur-unsur peradaban yang ditawarkan dari perkembangan Islam di Turki bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, aspek kebudayaan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Turki sangat menonjol di bidang arsitektur. Bangunan-bangunan yang ada di Turki memiliki karakteristik tersendiri yang dikenal dengan gaya (style) Usmani. Gaya (style) ini sangat nampak pada bangunan masjid-masjid dan istana-istananya.
Kedua, aspek sistem pemerintahan. Perubahan bentuk Negara kerajaan-Islam menjadi Negara republik-sekuler pada masa pemerintahan Mustofa Kemal juga merupakan bentuk pembaharuan peradaban yang unik. Di mana sistem baru ini diberlakukan di tengah-tengah penduduk yang mayoritas Muslim. Sistem baru ini terbukti telah berhasil membawa Turki menjadi Negara maju dan diperhitungkan dunia internasional sampai sekarang.
Studi Kritis
Pada bagian ini, penulis akan melakukan analisis terhadap fenomena historis Turki yang menurut penulis menarik dan dapat menjadi view point dalam konteks kekinian. Fenomena menarik itu adalah “Negara sekuler di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Muslim”.
Di sini muncul pertanyaan, Mengapa tidak ada perlawanan yang berarti dari masyarakat yang notabene mayoritas muslim terhadap sekulerisasi (revolusi kebudayaan) yang dilakukan pemerintahan Mustofa Kemal? Apakah ketaatan kepada aparatur pemerintah seperti itu memang sudah terbina baik dan terinternalisir pada saat Daulah Usmani, atau rakyat cukup maklum tentang keparahan situasi dan menghendaki perubahan? Menurut Amin Abdullah, rakyat Turki memang telah lama belajar bagaimana bernegara dan menjadi warga Negara yang baik. Mereka sangat demokratis, meski mereka taat pada pemimpin dengan baik. Demokrasi tercermin dalam opini surat kabar baik dalam karikatur, tajuk rencana maupun artikel lepas. Kehidupan pejabat Negara dapat dijadikan teladan oleh masyarakat. Banyak Indikator lain yang menjelaskan bahwa masyarakat Turki memang sudah terlatih menjalani disiplin nasional yang baik sebagai modal dasar pembangunan bangsa.[15]  Dengan kata lain, kondisi psiko-sosial masyarakat Turki memang sangat mendukung terhadap segala bentuk perubahan, termasuk terhadap gelombang sekulerisasi yang digagas oleh Mustofa Kemal. Dan tentu saja Daulah Usmani memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan masyarakat yang seperti itu.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sikap para ulama dan perannya terhadap sekulerisasi di Turki? Ketika Daulah Usmani berkuasa, para ulama sangat dekat dengan penguasa dan mendapatkan posisi strategis dalam birokrasi. Menurut Karen Amstrong, kedekatan ulama dengan penguasa membawa implikasi terhadap indepedensi ulama itu sendiri (ulama tergantung kepada negara). Sebagai pejabat pemerintahan, sultan dan para Pasya dapat dipastikan mengendalikan para ulama dengan mengancam untuk menghentikan subsidi. Abul Sund Khola Chelebi (1490-1574) penyusun prinsip-prinsip aliansi Usmani-ulama menegaskan bahwa otoritas qadi berasal dari sultan sang pelindung syariah, sehingga para ulama terikat untuk melaksanakan hokum menurut amanat yang diberikan kepadanya. Jadi, syariah disusun untuk mendukung sistem monarki absolute. Padahal, syariah asli sebenarnya dirancang untuk menentangnya.[16] Implikasi dari kondisi ini adalah ketika penguasa (Daulah Usmani) runtuh, maka para ulama juga kehilangan legal-position-nya. Dengan demikian, ketika Mustofa Kemal mengusung sekulerisasi di Turki, para ulama tidak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, dalam pandangan Amin Abdullah bahwa dalam tradisi Turki, ulama tidaklah identik dengan Islam. Islam sebagai suatu ajaran atau ‘guiding principle’, sudah barang tentu dalam banyak hal berlainan dari ulama, pemangku ajaran tersebut secara tak terelakkan punya vested interest tertentu.[17]
Pertanyaan selanjutnya, meskipun Turki menjadi negara sekuler, mengapa penduduk Turki masih mayoritas muslim? Menurut Karen Amstrong, meskipun Mustofa Kemal menutup semua madrasah, menindas tatanan sufi, dan memaksa pria dan wanita mengenakan pakaian ala Barat, paksaan ini tidak berjalan dengan baik. Islam di Turki tidak lenyap, tetapi dilaksanakan secara diam-diam.[18] Ini mengandung arti bahwa kehidupan beragama masyarakat Turki sudah terbentuk dengan baik. Hal ini merupakan wujud keberhasilan islamisasi yang dilakukan oleh Daulah Usmani.
Bahkan, ketika Turki secara resmi menetapkan pemisahan agama dan negara (sekulerisasi). Konstitusi dan undang-undangnya mendeklarasikan Turki sebagai negara republik sekuler. Namun, dalam praktiknya Islam tetap menjadi faftor yang penting dan muncul dalam kebijakan Turki dan dalam kesadaran identitas mereka.[19] Hal ini menunjukkan bahwa Islam sudah menjadi urat nadi masyarakat Muslim Turki.
Kesimpulan
Demikianlah sekilas deskripsi tentang perkembangan Islam di Turki. Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu: Pertama, perkembangan atau dinamika Islam di Turki dapat dilihat dalam tiga fase, yakni era Daulah Usmani dengan cirinya Islam mengalami perkembangan pesat dan Islam memiliki peran yang strategis dalam ranah publik, era Mustofa Kemal dengan cirinya terjadi marginalisasi Islam (sekulerisasi), dan era pasca Mustofa Kemal dengan cirinya kebangkitan kembali Islam di Turki. Kedua, Gerakan pemikiran modern Islam di Turki tidak terlalu menonjol. Ketiga, unsur pembaharuan peradaban yang ditawarkan oleh peradaban Islam di Turki adalah pada aspek kebudayaan dan sistem pemerintahan.


Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. 1999. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?.Cet. II.       Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Armstrong, Karen. 2002. Islam: A Short History. Terj. Ira Puspito Rini.     Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Hidayat, Komaruddin. 2007. Psikologi Beragama. Bandung: Hikmah.
Hourani, Albert. 2004. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Bandung: Mizan.
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jilid III. Jakarta: Rajawali Press.
Lewis, Bernard, et.al. 2002. Islam Liberalisme Demokrasi. Jakarta:          Paramadina.
Mughni, Syafiq. 1997. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki . Jakarta: Logos.
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media.
Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo          Persada.
Nurhakim, Moh. 2004. Sejarah & Peradaban Islam. Cet. II. Malang: UMM Press.




[1] Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (Jakarta: Logos, 1997), hal. 11-12
[2] Lihat Ibid, hal. 51-53
[3] Ibid, hal. 54-66
[4] Dokumen resmi menyebutkan: “Paduka yang Mulia, sultan yang penuh kemenangan dan kesuksesan, penguasa yang memperoleh pertolongan Allah, yang pakaian dalamnya adalah kemenangan, padisyah yang kejayaannya setinggi langit, raja diraja yang laksana bintang-gemintang, bertahtakan mahkota kerajaan, bayangan Tuhan Yang maha Pemberi, puncak kerajaan, lambing keberuntungan, garis keadilan yang seimbang, kesempurnaan penuh keagungan, lautan kasih saying dan kemanusiaan, mutiara kemurahan hati, sumber monument keberanian, wujud cahaya kebahagiaan, penegak rukun-rukun Islam, penulis keadilan di atas lembaran waktu, sultan dua benua dan dua lautan, penguasa dua Timur dan dua Barat, pelayan dua tempat suci, pemilik nama yang sama dengan Rasul untuk manusia dan Jin, yaitu sultan Muhammad Khan” lihat Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (Bandung: Mizan, 2004), hal. 422-423
[5] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (Bandung: Mizan, 2004), hal. 422-423
[6] Gerakan ini muncul pada saat sultan Hamid II naik tahta dan ditindaklanjuti dengan gerakan Turki Muda tahun 1880 dalam Ittihad ve Terakki Cemiyeti, yang terdiri dari pegawai kerajaan yang berkebangsaan Arab, terutama dari negeri Iraq.
[7] Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), jilid III, hal. 89-91
[8] Oemar Amir Hoesen, Kultur Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hal. 505 dikutip Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. ke-II, hal. 243
[9] Jurzi Zaidan, Tarikh Adabi al-Lughah al-Arabiyah (Kairo: Dar al-Hilal, 1959), Jilid III, hal. 315 dikutip Musyrifah Sunanto, Ibid
[10] Oemar Hoesen, Op. Cit, hal. 504 dikutip Musyrifah Sunanto, Op. Cit, hal. 245
[11] Ibid.
[12] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet. II, hal. 185
[13] Ibid
[14] Komarudin Hidayat, Psikologi Beragama (Jakarta: Hikmah, 2007), hal. 40
[15] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet. II, hal. 193-194
[16] Karen Amstrong, Islam: A Short History (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), hal. 157
[17] Opcit, Amin Abdullah, hal. 191
[18] Opcit, Karen Amstrong, hal. 186
[19] Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi (Jakarta: Paramadina, 2002), hal. 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar