Entri Populer

Senin, 09 Januari 2012

Pembelajaran Demokratis dalam Perspektif Islam


METODE PEMBELAJARAN DEMOKRATIS
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Erik Budianto, S.PdI
Paradigma lama dalam proses pendidikan adalah bahwa guru merupakan center of learning. Implikasi dari paradigma ini bahwa guru menjadi satu-satunya sumber dan pemilik otoritas dalam pembelajaran. Pola seperti ini mengindikasikan guru sebagai subjek dan murid sebagai objek. Dalam hal ini peserta didik diibaratkan seperti sebuah gelas kosong. Maka yang berhak mengisi gelas tersebut adalah sang guru. Dengan kata lain, hal ini sejalan dengan konsep tabularasa John Locke. Bahwa peserta didik diibaratkan kertas kosong, sehingga mau diberi tinta apa saja terserah guru.
Pendidikan dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis. Ini terlihat dari kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih kompetitif.
konsep tersebut untuk zaman sekarang tentu saja sudah tidak relevan dan bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri. Sebab Allah menciptakan manusia sekaligus beserta potensi-potensinya. Pendidikan hanyalah merupakan sarana untuk mengembangkan potensi terpendam dalam diri manusia. Oleh karena itu, seyogyanya pola pendidikan mengarah pada pendidikan yang demokratis, sehingga peserta didik memiliki kesempatan dan kebebasan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan menggali prinsip-prinsip pembelajaran yang demokratis berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an (hadis) dan juga teori-teori ilmiah.
Tafsir Surat Ash-Shaffat ayat 102
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar"  (Qs. Ash-Shaffat: 102)
Al-Maraghi menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: “Dan tatkala Ismail menjadi besar, tumbuh dan dapat pergi bersama ayahnya berusaha melakukan pekerjaan-pekerjaan dan memenuhi keperluan-keperluan hidupnya, maka berkatalah Ibrahim kepadanya, “Hai anakku, sesungguhnya aku telah bermimpi bahwa aku menyembelih kamu. Maka, bagaimanakah pendapatmu. Mimpinya itu dia ceritakan kepada anaknya, dia tahu bahwa yang diturunkan kepadanya adalah cobaan Allah. Sehingga ia hendak meneguhkan hatinya kalau-kalau dia gusar dan hendak menenteramkan jiwanya untuk menunaikan penyembelihan, disamping agar dia menginginkan pahala Allah dengan tunduk kepada perintah-Nya. Kemudian Allah menerangkan bahwa Ismail itu mendengar dan patuh serta tunduk kepada apa yang diperintahkan kepada ayahnya. Ismail berkata, “Hai ayahku, engkau telah menyeru kepada anak yang mendengar, dan engkau telah berhadapan dengan anak yang rela dengan cobaan dan putusan Allah. Maka, Bapak tinggal melaksanakan saja yang diperintahkan, sedang aku hanyalah akan patuh dan tunduk kepada perintah, dan aku serahkan kepada Allah pahalanya, karena Dia-lah cukup bagiku dan sebaik-baik tempat berserah diri.
Lebih lanjut al-Maraghi menjelaskan, setelah Ibrahim berbicara kepada anaknya dengan ucapannya, ya bunayya, sebagai ungkapan kasih sayang, maka dijawab anaknya dengan mengucapkan ya abati, sebagai ungkapan tunduk dan hormat, dan menyerahkan urusan kepada ayahnya, sebagaimana yang dia rundingkan dengannya. Dan bahwa kewajibannya hanyalah melaksanakan apa yang dipandang baik oleh ayahnya. Kemudian dia tegaskan tentang kepatuhannya kepada perintah dengan katanya: “Aku akan sabar menerima putusan dan sanggup menanggung penderitaan tanpa gusar dan tanpa gentar dengan apa yang telah ditakdirkan dan diputuskan. Dan memang benar-benar Ismail menepati apa yang dia janjikan dan melaksanakan dengan baik kepatuhan dalam menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya.[1]
Sementara Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: “Nabi Ibrahim as. menyampaikan mimpi itu kepada anaknya. Ini agaknya karena beliau memahami bahwa perintah tersebut tidak dinyatakan sebagai harus memaksakannya kepada sang anak. Yang perlu adalah bahwa ia berkehendak melakukannya. Bila ternyata sang anak membangkang, maka itu adalah urusan ia dengan Allah… ucapan sang anak if’al ma tu’mar (laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu), bukan berkata: “Sembelihlah aku”, mengisyaratkan sebab kepatuhannya, yakni karena hal tersebut adalah perintah Allah swt. Ucapan sang anak: “Engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk para penyabar”, dengan mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah, sambil menyebut terlebih dahulu kehendak-Nya, menunjukkan betapa tinggi akhlak dan sopan santun sang anak kepada Allah swt. Tidak dapat diragukan bahwa jauh sebelum peristiwa ini pastilah sang ayah telah menanamkan dalam hati dan benak anaknya tentang keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya yang indah serta bagaimana seharusnya bersikap kepada-Nya. Sikap dan ucapan sang anak direkam oleh ayat ini adalah buah pendidikan tersebut.[2]
Adapun secara sederhana Hamka menafsirkan ayat 102 surat Ash-Shaffat tersebut: “Dengan kata-kata yang halus mendalam, si ayah (Ibrahim) berkata kepada si anak (Ismail) bahwa ia mendapat perintah dari Allah untuk menyembelihnya melalui mimpi… disuruhnya anaknya memikirkan mimpinya itu dan kemudian diharapnya anaknya menyatakan pendapat[3]
Demikianlah pendapat al-Maraghi, Quraish Shihab, dan Hamka dalam menafsirkan ayat 102 surat ash-Shaffat. Dari ketiga tafsir di atas, terdapat titik temu yang mengindikasikan adanya dimensi pendidikan dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya penulis akan membahas dimensi pendidikan yang terdapat dalam ayat 102 surat ash-Shaffat.

Dimensi Pendidikan
Ayat 102 surat ash-Shaffat mengindikasikan bahwa ada model pendidikan yang pernah  dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s. Beliau adalah figur nabi yang diakui sebagai bapak monoteistik sejati. Salah satu keteladanan Nabi Ibrahim adalah sikap lembut, kasih sayang dan sikap demokratis dalam mendidik anak. Nabi Ibrahim mengedepankan cara-cara dialogis kepada Ismail. Ibrahim menghindari otorisasi pendidikan pada materi yang menyangkut kesiapan emosional anak. Tampak sekali Ibrahim berusaha memahami kejiwaan anak.
Dalam ayat tersebut, diceritakan bahwa ketika Ibrahim bermimpi disuruh menyembelih putranya, beliau memangil putranya, Ismail, dengan ungkapan yang lembut dan penuh kasih sayang, yaitu kata “ya bunayya” (duhai anakku). Lalu Ibrahim bermusyawarah dengan meminta pendapat dari anaknya sambil mengatakan “fanzhur maa dzaa taraa” (bagaimana pendapatmu?). Hal ini mencerminkan sikap yang sangat demokratis dari Nabi Ibrahim sebagai seorang ayah. Sikap ini beliau tunjukkan kepada putranya agar sang putra mengetahui bahwa beliau tidak sewenang-wenang terhadap putranya.[4]
Dr. Miftahul Huda, M.Ag telah melakukan kajian terhadap ayat 102 surat ash-Shaffat ini. Penekanan kajiannya adalah pada aspek epistemologinya. Menurutnya, ayat 102 tersebut memiliki landasan epistemologi pendidikan demokratis.
Pertama, Epistemologi intuitif-demokratis. validitas intuisi sebagai saluran pengetahuan langsung dari Allah kepada rasul menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan oleh akal. Hanya saja dalam rangka proses sosialisasi kepada Ismail, Ibrahim meberikan penawaran agar mempertimbangkannya. Sepertinya syariat kurban ini tidak bersifat dogmatis-doktriner sebagaimana ajaran iman yang dilakukan Luqman kepada anaknya. Hal ini bisa jadi karena masalah kurban menyangkut hak hidup pribadi Ismail, sehingga perlu didengarkan pendapatnya. Di sinilah Ibrahim menunjukkan sikap demokrat dalam pendidikan syariat kurban.
Demokratisasi pendidikan tersebut berarti memberikan peluang rasio untuk ikut menentukan konsep syari’at korban. Seandainya Ismail memilih untuk menolak perintah tersebut, berarti gagalah misi pembentukan syariat kurban, meskipun sudah diperintahkan oleh Allah kepada Ibrahim. Akan tetapi seakan naluri kemanusiaan Ismail lebih dominan untuk menerima perintah tersebut daripada mengikuti pertimbangan rasionya. Demikian pula Ibrahim, meskipun perintah pengorbanan tersebut irrasional (tidak masuk akal), namun keyakinannya mengalahkan fikirannya.
Kedua, humanisasi dilakukan dengan metode dialogis. Pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia dilakukan Ibrahim dengan metode dialogis. Dialog sebagai upaya untuk membuka jalur informasi antara pendidik dan anak didik. Pendidik dapat mengukur kemampuan anak didik melalui dialog. Dengan berdialog akan ditemukan kesamaan persepsi tentang visi dan misi pendidikan yang akan dilakukan. Metode dialogis membangun interaksi pendidikan menjadi harmonis.
Pada ayat ini Ibrahim memberitahu Ismail tentang mimpinya agar dapat dipahami oleh Ismail yang masih kecil. Untuk memahamkan misi pendidikan itulah Ibrahim mensosialisasikan melalui upaya dialog. Menurut Ibn Kathir cara dialog juga untuk melatih berargumentasi, kesabaran, ketangguhan dan keteguhannya untuk patuh kepada Allah dan taat kepada orang tua.
ketiga, Sikap demokratis Ibrahim dipahami sebagai kompetensi pendidik. Demokratisasi Ibrahim dalam mendidik Isma‘il merupakan kearifan pendidik yang professional. Kearifan itu telah muncul karena mempertimbangkan sikap mental dan kejiwaan anak didik. Demikian halnya, kearifan disebabkan karena kematangan profesionalisme sang pendidik yang selalu yakin dengan keberhasilan pendidikan yang dilakukan.
Keempat, sikap patuh Ismail dipahami sebagai kunci keberhasilan pendidikan. Ibrahim telah menerapkan demokratisasi dalam pendidikan dengan meninggalkan sikap otoriter. Hal ini bagi Ismail berarti bentuk kebebasan yang harus diterima dengan penuh tanggung jawab. Implikasinya Ismail menunjukkan sikap patuh dan tunduk atas perintah penyembelihan itu.
Kebebasan memilih yang ditawarkan Ibrahim kepada Ismail, tidak membuat Ismail mengedepankan interest pribadinya untuk menyelamatkan diri dari maut. Sebaliknya, dengan bangga dan penuh rasa hormat mempersilahkan sang ayah untuk melasanakan perintah tersebut. Hal ini terjadi karena dalam diri Ismail terdapat keyakinan akan keberhasilan apa yang dilakukannya. Isamail yakin akan dapat melampaui ujian itu, seraya mendapatkan kemenangan yang gemilang karena termasuk orang-orang yang sabar.
Kelima, Materi pendidikan keimanan. Perintah penyembelihan sangat berhubungan dengan hak hidup pribadi Ismail. Untuk melaksanakan perintah itu tidak saja melibatkan kesiapan emosional, tetapi juga kemantapan spiritual (iman). Kesiapan emosional diekspresikan dengan bentuk ketegaran dan kesabaran dalam menerima materi perintah tersebut. Aspek spiritual merupakan keyakinan dasar untuk menopang ketegaran dan kesabaran yang didasarkan pada keimanan dan kepatuhan kepada Allah.
Hal ini berarti dibalik materi penyembelihan, terdapat materi pendidikan terkait yaitu aspek keimanan dan emosional. Pada aspek keimanan secara implisit berarti uji kepatuhan terhadap perintah Allah sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Pada tahapan ini Ismail telah menunjukkan dedikasi yang tinggi dengan totalitas kesiapan emosioanalnya, sehingga lulus dari bahaya kematian.
Keenam, Tujuan pendidikan Ibrahim untuk humanisasi. Pendidikan Ibrahim terhadap Isma‘il bertujuan untuk memanusiakan manusia dengan patuh kepada Allah. Pendidikan humanis ini berisi nilai-nilai keutamaan atau kebajikan yang dapat mengangkat kemuliaan manusia. Atau dalam bahasa lain adalah proses mengangkat derajat kemanusiaan manusia dengan nilai-nilai keutamaan atau kebajikan.
Dalam kontek humanisasi, Ibrahim mengajarkan kepada Ismail bagaimana membangun harkat dan martabat manusia di sisi Allah. Tujuan ini direalisasikan dengan membangun citra manusia yang taat kepada nilai-nilai kemanusiaan yang diperintahkan oleh Allah. Nilai kemanusiaan ditegakkan di atas sifat-sifat luhur budaya manusia dengan membebaskan diri dari sifat-sifat kebinatangan. Simbolisme mengorbankan binatang dipahami sebagai upaya untuk memanusiakan manusia melalui pendidikan.
Pendidikan untuk memanusiakan manusia dalam arti menjadikan manusia itu lebih manusiawi dengan segala sifat kemanusiaannya, sehingga diharapkan menjadi manusia yang sehat lahir dan batin. Pendidikan menjadikan anak mampu mengembangkan potensi dirinya dan mampu memilih dan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Upaya inilah yang terlihat dalam model pendidikan Ibrahim terhadap Ismail ini.
Dalam konteks pendidikan, pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi dua arah antara guru dan siswa. Guru memberikan bahan pembelajaran dengan selalu memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberikan reaksi, siswa bisa bertanya maupun memberi tanggapan kritis tanpa ada perasaan takut. Bahkan, kalau perlu siswa diperbolehkan menyanggah informasi atau pendapat guru jika memang dia mempunyai informasi atau pendapat yang berbeda.
Konsep Metode Pembelajaran Demokratis
Secara etimologi, metode dapat diartikan suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan. Sedangkan pengertian pembelajaran menurut Oemar Hamalik adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsure-usur manusiawi, internal material fasilitas perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi. Adapun demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai cara hidup, adanya keinginan untuk berkompromi, sikap toleran, kesediaan mendengar dan menerima pendapat orang lain.
Dengan demikian metode pembelajaran demokratis adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh yang sesuai dan serasi untuk menyajikan suatu hal yang dilakukan secara demokratis sehingga akan tercapai suatu tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai yang diharapkan.
Pembelajaran demokratis merupakan pembelajaran yang dibangun untuk mewujudkan lingkungan yang kritis dan aman, menghidupkan dialog dan keikutsertaan seluruh pihak. Di dalam iklim kelas yang demokratis tecermin komitmen terhadap tujuan pembelajaran, yaitu setiap individu merasa diterima dan termotivasi untuk mengembangkan diri. Selain itu interaksi di kelas juga terjadi secara terbuka, menghargai kebebasan berpendapat dan terjadi proses partisipasi peserta didik dalam deliberasi yang demokratis dan pembuatan keputusan.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk membekali peserta didik berpikir, belajar, melakukan refleksi dan bekerja sama dalam kelas demokratis juga harus didesain secara maksimal. Seorang guru harus mampu menjadi fasilitator yang baik di mana peserta didik difasilitasi dalam mengembangkan konsep fund of democratic knowledge, yakni mereka belajar dan bekerja dalam suasana kelas demokratis. Konsep fund ditarik dari penerapan pengajaran yang memadukan pengetahuan guru dan strategi pendekatan pedagogis sebagai modalitas pembelajaran. Peserta didik dibawa pada pergumulan persolan untuk memahami dan mencari pemecahan (authentic learning). Konsep ini didasarkan pada prinsip bahwa peserta didik memiliki kemampuan memahami isu yang kompleks, mencari atau mengembangkan penyelesaian hal yang baru dan unik terhadap persoalan atau isu melalui penerapan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, menghargai dan menarik manfaat dari gagasan dan pandangan teman sejawatnya.
Guru atau pendidik yang demokratis tidak hanya berusaha untuk selalu memperkecil kekerasan atau ketidaksensitifan yang terjadi lantaran ketidakadilan sosial di sekolah, namun juga mengubah keadaan yang ada menjadi suasana yang berkeadilan. Penerapan demokrasi sangat tergantung pada hal-hal seperti perhatian terhadap kepentingan bersama, apresiasi terhadap keragaman, serta kesempatan yang adil untuk setiap orang memperoleh layanan pendidikan yang seimbang dan memadai.
Menurut Azyumardi Azra, paradigma pembelajaran dan pendidikan seyogyanya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi, pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala eksistensinya. Dengan begitu baru anak didik bisa bebas mewujudkan keseluruhan potensi dirinya.
Pandangan ini jelas berbeda dengan paradigma lama yang mendominasi pembelajaran atau dunia pendidikan secara keseluruhan, yang justru membuat peserta terbelenggu. Saat ini peserta didik hanya menjadi obyek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan harus dijejali sesuai kemampuan guru.
Dalam konteks ini, pendidikan demokratis harus dipahami sebagai proses pendidikan yang memberikan peluang kepada peserta didik untuk bersuara. Pendidikan demokratis, kata Azyumardi, juga merupakan pendidikan yang partisipatori.
Dalam kerangka tersebut, guru bukan satu-satunya pemegang monopoli pembelajaran di dalam kelas, walaupun posisinya tetap narasumber penting. Guru sepatutnya mendorong anak untuk bicara mengekspresikan apa yang hidup dalam diri anak didik. Selain itu, juga merangsang anak didik mempersoalkan berbagai substansi pembelajaran yang mereka terima secara kritis.
Penutup
Metode pembelajaran yang demokratis ternyata memiliki landasan teologis yang tertuang dalam al-Qur’an surat ash-Shaffat ayat 102. Hal ini telah dipraktekkan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail. Keduanya melakukan interaksi dialogis-humanis ketika akan melakukan perintah Allah yang tampak tidak rasional dan bertentangan dengan hati nurani. Dari hubungan yang interaktif-dialogis-humanis tersebut, keduanya akhirnya dapat melaksanakan perintah Allah dengan baik.
Selain itu, metode pembelajaran demokratis juga memiliki landasan ilmiah berdasarkan pendekatan teori ilmiah. Bahwa anak didik harus memiliki kebebasan dan mendapatkan ruang untuk mengekspresikan potensinya.
Pembelajaran yang demokratis cukup relevan untuk diimplementasikan di kelas. Hal itu setidaknya berdasarkan tiga alasan. Pertama, kenyataan bahwa guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Kedua, kompleksnya kehidupan yang bakal dihadapi siswa setelah lulus. Masa depan menuntut mereka mampu menyesuaikan diri. Prinsip belajar yang relavan adalah belajar bagaimana belajar (learning how to learn). Artinya, di kelas target pembelajaran bukan sekadar penguasaan materi, melainkan siswa harus belajar juga bagaimana belajar (secara mandiri) untuk hal-hal lain. Ketiga, dalam konteks pendidikan demokrasi masyarakat. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, siswa hendaknya sejak dini telah dibiasakan bersikap demokratis, bebas berpendapat tetapi tetap dalam rule of game. Ini bisa dimulai di kelas dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang menekankan adanya demokrasi. Wallahu a’lam bi al-shawab       

Sumber Referensi
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. (1993). Tafsir Al-Maraghi (Terj. Bahrun     Abu Bakar, dkk). Cet. II. Jilid 23. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Arifin. (2008). Ilmu Pendidikan Islam (edisi Revisi). Cet. III. Jakarta: Bumi         Aksara.
Hamka. (1993). Tafsir Al-Azhar. Cet. II. Jilid 8. Singapura: Pustaka          Nasional PTE LTD.
Marno & Idris. (2010). Strategi & Metode Pengajaran. Cet. V. Yogyakarta:           Ar-Ruzz Media Group.
Natta, Abuddin. (2002). Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta: PT. Raja    Grafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. (2004). Tafsir Al-Mishbah. Cet. II. Volume 12. Jakarta: Lentera Hati.
SM. Ismail. (2002). Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis    P.A.I.K.E.M. Semarang: RaSAIL.


[1] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), Cet. II. Jilid 23, hal. 129-130.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Cet. II, Volume 12, hal. 63
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1993), Cet. II, Jilid 8, hal. 6103
[4] Abdul Mustaqim, Menjadi Orang Tua Bijak (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), hal. 23-24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar